Headlines

Perwakilan Pemerintah Australia Melakukan Kunjungan Pemantauan Implementasi Program INKLUSI di Lombok Timur

Lombok Timur, 17 April 2024 – Masih dalam suasana halal bihalal, Kemitraan Australia-Indonesia Menuju Masyarakat Inklusif (INKLUSI) bersama Tim Departemen of Foreign Affairs and Trade (DFAT) Australia melaksanakan kunjungan ke Kantor Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Lombok Timur pada hari Rabu (17/4/2024).
 
Hadir pada kunjungan tersebut adalah Simon Flores, Konselor Efektivitas Pembangunan dan Humanitarian, Kedutaan Australia , Team Leader INKLUSI-Cowater Erin Anderson, Direktur Eksekutif BaKTI M. Yusran Laitupa, Programme Manager INKLUSI BaKTI Lusia Palulungan, Partnerships Coordinator Program INKLUSI Virlian Nurkristi, Lombok Research Center (LRC) sebagai sub mitra Yayasan BaKTI, Sekretaris Dinas P3AKB, Kabid PP DP3AKB, Kepala UPTD PPA, mitra INKLUSI di NTB dan perwakilan Kelompok Konstituen (KK) di 15 desa dampingan LRC.
 
Tujuan dari kunjungan ini adalah untuk melahirkan kolaborasi yang intens antara pemerintah, legisatif, NGO lokal dan masyarakat dalam mengatasi kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan salah satu fokus dari Program INKLUSI, sehingga harus ada upaya untuk mendorong kebijakan yang pro terhadap perempuan, anak, disabilitas dan kelompok rentan lainnya.
 
Sekretaris Dinas P3AKB Lombok Timur, Baiq Husniatul Gaimah mengungkapkan keberadaan Program INKLUSI di Lombok Timur telah membantu banyak kinerja pemerintah dalam menangani sejumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Begitu juga dengan dibentuknya kelompok konstituen di 15 desa dampingan LRC juga meningkatkan keberanian masyarakat untuk melaporkan kasus kekerasan.
 
Ia juga menyinggung soal angka kasus kekerasan di Lombok Timur masih tertinggi dari sepuluh 10 kabupaten lainnya di provinsi NTB. Menurutnya, ini tidak terlepas dari jumlah penduduk Lombok Timur yang paling tinggi dibanding kabupaten lainnya yang memunculkan beragam permasalahan sosial termasuk kekerasan.
 
“Jika persoalan kekerasan bisa diselesaikan di Lombok Timur, secara otomatis kasus kekerasan di NTB juga akan menurun secara signifikan”, ungkapnya.
 
Sebagaimana disampaikan oleh Program Manager Program INKLUSI-Yayasan BaKTI, Lusia Palulungan, dalam tiga tahun berjalannya Program INKLUSI di Lombok Timur, Yayasan BaKTI dan LRC telah berhasil mengadvokasi pemerintah daerah dan pemerintah desa untuk melahirkan regulasi yang berpihak kepada kelompok masyarakat rentan.
 
Beberapa yang sudah ditetapkan yakni Perda Tentang Penghormatan, Perlindungan dan Pemenuhan Hak Disabilitas, Perempuan dan Anak di Lombok Timur, SK Bupati Nomor Tentang Standar Operasioanl Prosedur UPTD PPA Kabupaten Lombok Timur dan Perdes Perlindungan Sosial Terhadap Masyarakat Rentan di tiga desa di Lombok Timur.
 
“Perlu adanya advokasi untuk melahirkan regulasi yang pro terhadap kelompok masyarakar rentan agar pemerintah daerah dan desa bisa membuat perencanaan anggaran yang juga berpihak terhadap kepentingan masyarakat rentan”, kata Lusi.
 
Lusi melanjutkan, untuk mengoptimalkan pelayanan terhadap korban kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, perlu melibatkan masyarakat lokal dengan membentuk layanan berbasis komunitas di desa dampingan. Hal ini bertujuan agar kasus-kasus yang dialami masyarakat lebih mudah disambungkan dengan layanan yang disediakan oleh pemerintah (UPTD PPA).
 
“Dari 15 desa, kami sudah memberikan penguatan kepada 120 pendamping yang diambil dari masing-masing desa. Yang akan mendampingi masyarakat untuk mengakses layanan pemerintah untuk mendapatkan perlundungan sosial, layanan administrasi kependudukan, bantuan sosial, termasuk pengadaan layanan untuk disabilitas”, kata Lusi lagi.
 
Di waktu yang sama, Yuliani selaku Kepala UPTD PPA Lombok Timur mengutarakan bahwa data kasus kekerasan yang terlapor tidak hanya berakhir menjadi catatan UPTD PPA, tapi diupayakan agar terdistribusi ke dalam Data SIMFONI PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak) yang dibuat oleh Kementerian Pemberdayaan Perlindungan Perempuan dan Anak. Sehingga mampu mendorong kebijakan pemerintah di tingkat nasional baik dalam melahirkan regulasi dan perencanaan anggaran yang lebih inklusif yang sesuai dengan kebutuhan perempuan, anak dan disabilitas.
 
“Memang tidak semua kasus yang ada di desa bisa dijangkau oleh layanan yang disediakan UPTD PPA, tapi keberadaan KK ternyata mampu berkontribusi untuk mensosialisasikan layanan bahkan mampu melakukan pendampingan kasus. Terus laporkan kasus kekerasan, karena ini akan menjadi landasan pemerintah dalam membuat kebijakan jangka panjang dan jangka pendek”, kata Yuliani.
 
Dalam mendorong penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak memang dibutuhkan dukungan dan kolaborasi semua pihak, hal ini disampaikan oleh Simon Flores dari Tim DFAT Australia. Ia meneruskan, diskusi hari ini membuatnya banyak menemukan beragam isu yang akan semakin meningkatkan komitmen Pemerintah Australia dan Indonesia dalam mengatasi permasalahan sosial, khususnya penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
 
“Pertemuan hari ini membuat saya mengetahui ternyata begitu banyak persoalan sosial di dalam masyarakat yang nanti akan menjadi diskursus kami ke depannya, termasuk menguatkan komitmen dan kerjasama kami dengan pemerintah Indonesia”, tutup Simon.

BQ.Diat*