Rabu, 24 April 2024-Dinas P3AKB Lombok Timur melaksanakan agenda Uji Coba Draft Panduan Prosedur Operasional Pencegahan Eksploitasi, Kekerasan dan Pelecehan Seksual (PSO PEKS-PS) bagi Tenaga Layanan UPTD PPA PPA/P2TPA. Ini merupakan kerjasama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), United Nation Population Fund dan Dinas P3AKB Lombok Timur. Dalam agenda tersebut juga diikuti oleh petugas/tenaga layanan dari DP3AKB, UPTD PPA, Dinas Sosial dan NGO.
Kepala DP3AKB Lombok Timur, H. Ahmad A, S.Kep. MM yang berkesempatan mengikuti kegiatan secara daring menerangkan bahwa kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari Focus Group Discussion (FGD) sebelumnya. Dari diskusi sebelumnya ditemukan bahwa masih banyak organisasi pemerintah maupun organisasi non pemerintah/NGO yang belum memiliki kebijakan tentang pencegahan dan perlindungan dari eksploitasi, perilaku menyimpang, dan pelecehan seksual atau Protection from sexual exploitation, abuse and harassment (SEAH).
Untuk itu, ia berharap setelah kegiatan ini semua lembaga pemerintahan, lembaga pendidikan dan organisasi masyarakat memiliki SOP tentang pencegahan dan perlindungan dari eksploitasi, perilaku menyimpang, dan pelecehan seksual di dalam lembaga atau kantor. Termasuk dengan membentuk satgas TPPK di dalamnya. Dengan begitu, dari 13 Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA) di Lombok Timur akan berkembang menjadi 245 desa/kelurahan.
“Kami berharap dari 13 desa percontohan dan rintisan yang sudah memiliki predikat DRPPA akan berkembang menjadi 245 desa/kelurahan di Lombok Timur”, ungkap H. Ahmat.
Ibu Fathiyah, selaku Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan DP3AKB Lombok Timur menambahkan, agenda ini dibutuhkan untuk menyamakan persepsi mengenai perlidungan dari eksploitasi seksual, kekerasan seksual dan pelecehan seksual. Serta memfasilitasi untuk perumusan strategi dan mekanisme penanganan perlindungan dari eksploitasi seksual bagi tenaga layanan di tingkat daerah dan nasional.
Penting untuk mendudukkan eksploitasi seksual sebagai salah satu isu yang memerlukan mekanisme dan kebijakan khusus dalam penananganannya. Sebab, ditemukan sejumlah kasus eksploitasi seksual oleh petugas penyedia layanan kekerasan berbasis gender (KBG) kepada penerima manfaat/korban KBG, kasus kekerasan seksual di lingkup perguruan tinggi yang dilakukan dosen kepada mahasiswa, bahkan di lingkup rumah sakit yang dilakukan dokter kepada pasiennya.
Dari kasus-kasus tersebut muaranya satu yakni adanya upaya atau tindakan kekerasan terhadap seseorang dalam posisi rentan melaului penyalahgunaan kekerasan kekuasaan/kekuatan untuk mencapai tujuan seksual. Inilah yang dimaksud sebagai eksploitasi seksual.
“Eksploitasi seksual ini berbeda dengan kekerasan atau pelecehan seksual, karena di dalamnya terdapat relasi kuasa dan ada timbal balik di dalamnya yang mendorong seseorang untuk menyalahgunakan powernya untuk mendapatkan tujuan seksual dari korban”, kata Ibu Fathiyah melanjutkan.
Mengapa selama ini pemerintah maupun lembaga masyarakat selalu menyuarakan tentang pencegahan kekerasan seksual, karena kekerasan seksual berbeda dengan kekerasan fisik maupun psikis yang lebih mudah diidentifikasi.
Hal ini disinggung oleh Ibu Yuliani, Kepala UPTD PPA, Lombok Timur, ia melanjutkan, kekerasan seksual, memiliki lebih banyak dimensi yang lebih sulit diidentifikasi dan dampaknya juga beragam. Terlebih masih banyak masyarakat yang menganggap kasus kekerasan sebagai aib dan enggan untuk melaporkannya.
“Dampak kekerasan seksual itu tidak hanya fisik atau mental, namun juga reproduksi, trauma, kerugian ekonomi, kerugian sosial dan lainnya. Dimensinya begitu banyak, sehingga ini harus menjadi perhatian kita semua untuk memberikan perlindungan pada korban dan mendorong mereka agar beran melapor”, kata Yuliani.
BQ. Diat*
Sosialisasi PSO PEKS-PS Di Lingkup UPTD PPA Lombok Timur
