Oleh: Maharani*
Pesta Demokrasi atau Pemilihan Umum (Pemilu) lima tahunan akan segera dilaksanakan. Pesta lima tahunan ini akan berlangsung nanti pada tanggal 14 februari 2024. Pada pesta demokrasi itu, masyarakat akan memilik perwakilannya mulai dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten, DPRD Propinsi, DPR RI, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan tentunya yang paling dinanti yaitu Presiden baru Indonesia 2024.
Namun yang menarik dalam pesta demokrasi kali ini yaitu masih belum satu pemahaman antara penyelenggara didaerah terkait dengan hak beberapa masyarakat untuk masuk ke dalam daftar pemilih tetap (DPT). Sebut saja Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Lombok Timur di beberapa media online mengatakan belum mengakomodir Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) ke dalam daftar pemilih tetap.
Komisioner KPU Bidang Data KPU Lombok Timur menjelaskan bahwa teman teman KPU mengacu pada ketentuan Peraturan KPU Nomor 6 dan 7 Tahun 2023 tentang Pengaturan ODGJ harus mengantongi surat keterangan dari dokter spesialis kesehatan jiwa. Sehingga, dalam hal ini pihaknya tidak memiliki wewenang untuk menentukan orang dengan status disabilitas mental memiliki hak pilih atau tidak. Tetapi itu ditentukan oleh dokter spesialis kesehatan jiwa.
Berbeda dengan beberapa daerah di Indonesia yang komisionernya dengan berani memasukkan ODGJ menjadi pemilih dalam pesta demokrasi tahun 2024 yang akan datang. Sebut saja di Jakarta, Kabupaten Bantul, Propinsi Sulawesi Selatan dan masih banyak beberapa daerah lainnya.
Sebenarnya polemik ini tidak seharusnya terjadi dikarenakan telah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI No. 135/PUU-XIII/2015 pada tanggal 27 September 2016, yang membatalkan ketentuan Pasal 57 ayat (3) huruf a UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pemilukada yang menyatakan bahwa “Pemilih yang terdaftar adalah yang tidak sedang tergganggu jiwa/ingatannya”. Putusan ini merupakan tonggak sejarah yang berhasil diukir oleh MK RI dalam memulai untuk melindungi hak pilih semua warga Negara tanpa kecuali termasuk kelompok marjinal, yakni ODGJ dalam desain ketatanegaraan Indonesia modern.
Secara konstitusional MK RI berfungsi sebagai pengawal konstitusi (the guardian of constitution). Menurut Pasal 24 C UUD 1945 memiliki otoritas untuk (i) menguji UU terhadap UUD; (ii) menguji kewenangan lembaga negara kewenangannya diberikan UUD; (iii) memutus pembubaran partai politik, (iv) pemberhentian presiden, dan (v) memutus tentang sengketa hasil pemilu. Itulah sebabnya MK RI memiliki peran dan kewenangan yang strategis dalam upaya penguatan perlindungan terhadap pilih kelompok masyarakat yang dikategorikan penyandang cacat (disabilitas).
Terdapat dua kategori Pemilih dalam pemilu, yakni pemilih normal dan pemilih dengan gangguan jiwa. Pemilih normal adalah pemilih sesuai dengan maksud ketentuan dalam Pasal 198 Ayat (1) UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang menegaskan, bahwa “Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin mempunyai hak memilih”. Pemilih ini tak memiliki hambatan kejiwaan pada saat didaftar sebagai pemilih hingga tahapan pemungutan suara di TPS pada hari pemungutan suara.
Sedangkan pemilih dengan kategori orang dengan gangguan jiwa sesuai dengan ketentuan Pada pasal 75 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas yang menegaskan bahwa, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin hak dan kesempatan bagi Penyandang Disabilitas untuk memilih dan dipilih”. Pemilih sebagaimana dimaksud senafas dengan ketentuan Pasal 5 UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan umum disebutkan Penyandang disabilitas yang memenuhi syarat mempunyai kesempatan yang sama sebagai Pemilih. Kemudian dalam ketentuan Pasal 198 Ayat (1) juga ditegaskan, bahwa pemilih yang memiliki hambatan kejiwaan pada saat di daftar, akan tetapi ada potensi dapat menggunakan hak pilih pada saat hari pemungutan suara.
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan (Dikes) Lombok Timur tahun 2023 mencatat sebanyak 5.734 orang yang mengalami penyakit gangguan jiwa. Namun dari ribuan kasus tersebut akan dibagi dalam beberapa kategori kejiwaan yang dialaminya. Jika dilihat dari jumlahnya sekitar 0,59% dari jumlah pemilih tetap Kabupaten Lombok Timur yang berjumlah sekitar 980.000 pemilih.
Hak politik warga negara mencakup hak untuk memilih dan dipilih, jaminan hak dipilih secara tersurat terdapat dalam ketentuan UUD 1945 mulai Pasal 27 ayat (1) dan (2); Pasal 28, Pasal 28D ayat (3); Pasal 28E ayat (3). Sementara hak memilih juga diatur dalam Pasal 1 ayat (2); Pasal 2 ayat (1); Pasal 6A ayat (1); Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 22C ayat (1) UUD 1945.
Dalam rumusan pada pasal-pasal tersebut tampak jelas, bahwa tidak dibenarkan adanya diskriminasi terhadap hak pilih warga negara sebagai hak konstitusional (constitusional of rights) dalam Pemilu. Harus dipahami bahwa hak pilih tak boleh diidentikkan dengan daftar penduduk karena masing-masing memiliki dasar hukum yang berbeda. Karena yang disebut pemilih adalah WNI berusia 17 tahun atau sudah kawin dan tak perlu klausul syarat yang lain, selebihnya hanyalah dianggap persyaratan administrasi yang dapat diabaikan. Tapi hak pilih tidak dapat diabaikan. Jika negara abai terhadap hak pilih warga negara, maka ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Dalam ketentuan Pasal 21 Convention on the Rights of Persons with Disabilities ( CRPD) yang merupakan pengembangan lebih luas dari Declaration Universal of Human Rights (DUHAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1948 yang melarang praktek diskriminasi pada manusia atas dasar alasan apapun, termasuk dalam hal ini bagi mereka para penyandang disabilitas saat melaksanakan hak politiknya dalam pemilu. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 21 yakni sebagai berikut: Demikian pula dalam ketententuan Pasal 23 ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dinyatakan bahwa ”Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya”.
Pasal 43 ayat (1) UU ini, dinyatakan bahwa ”Setiap warga Negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Dalam perpektif pegkajian teori mengenai dissabilitas terdapat dua isu, yang digunakan seebagai pisau anlaisis tentang disabilitas, yakni mendekati aspek disabilitas sebagai (i) isu medic/ kesehatan dan (ii) isu social/ bermasyarakat.
Pertama, Perspektif Medis. Dalam masyarakat maupun dalam penelitian soal kemasyarakatan, individu yang memiliki “kecacatan” atau gangguan fisik dan mental, sering dilihat sebagai disabilitas, dan disabilitas tersebut sering dianggap sebagai murni masalah medik yang dapat dan harus dirawat. Perspektif medis menekankan bahwa disabilitas adalah terkait ‘fungsi biologis’ atau “fisiologis” dalam diri seseorang (Silvers, 1998).
Perspektif medis mengklasifikasikan disabilitas atau seorang dengan disabilitas (person with disabilities) sepenuhnya terkait dengan individu difabel, terlepas dari faktor-faktor eksternal diri difabel. Perspektif ini juga biasanya disebut sebagai perspektif konservatif. Perspektif ini memandang bahwa persoalan yang disebabkan oleh “disabilitas” dianggap berada dan bersumber dalam diri individu tersebut dan terlepas dari konteks sosial, atau mengidentifikasi difabel sebagai masalah biologis. Tujuannya bagi difabel kemudian adalah untuk menemukan obat medis demi menyembuhkan “kecacatannya”. Secara bersamaan, perspektif ini fokus pada disabilitas sebagai sebuah masalah yang dapat ditangani melalui kemajuan medis dan teknologi.
Kedua, Perspektif sosial. Perspektif sosial tentang disabilitas menegaskan bahwa “kecacatan atau disabilitas adalah hasil dari (pola) pengaturan sosial yang bekerja untuk membatasi kegiatan ‘difabel’ dengan menempatkan sejumlah ‘hambatan-hambatan sosial’ dalam cara mereka (beraktifitas atau berpartisipasi).
Disabilitas, menurut perspektif sosial adalah hasil dari bagaimana karakteristik fisik atau mental seseorang mempengaruhi berfungsinya diri mereka dalam suatu lingkungan dan harapan untuk pemungsian.
Perspektif sosial memandang disabilitas seseorang (dan bukan kecacatannya) lebih sebagai akibat dari faktor eksternal yang dikenakan pada seseorang dari pada sekadar fungsi biologis difabel itu. Perspektif sosial memungkinkan kita untuk melihat disabilitas sebagai efek dari lingkungan (eksternal) yang tidak bersahabat bagi sejumlah bentuk tubuh dan bukan hal yang lain, (dan untuk itu) difabel lebih membutuhkan kemajuan dalam keadilan sosial dan bukan dalam kemajuan kedokteran. Keyakinan-keyakinan dan fungsi-fungsi sosial yang kemudian meminggirkan dan melemahkan peran difabel dapat dilihat sebagai hambatan untuk hidup sepenuhnya bersandar pada (jenis) kemampuan mereka.
Perspektif sosial fokus kepada “hak kewarganegaraan” dan mengetahui “cara bagaimana organisasi atau kelembagaan-kelembagaan sosial menindas difabel.” Dalam perspektif sosial, diskriminasi terhadap individu difabel, yang kadang-kadang diidentifikasi sebagai disablism (disabelisme), dipandang sebagai mirip dengan seksisme, rasisme, homofobia, dan ageisme sebagai penindasan dari kelompok-kelompok tertentu berdasarkan kekuatan sosial, politik, dan ekonomi. (Abberly, 1987).
Pada konteks kesehatan jiwa, dikenal dua istilah untuk individu yang mengalami gangguan jiwa. Pertama, Orang dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) merupakan orang yang memiliki masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan dan perkembangan, dan/atau kualitas hidup sehingga memiliki risiko mengalami gangguan jiwa. Kedua, Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/ atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia.
Hasil kajian yang dilakukan oleh Bayu Dwi Anggono berama Timnya dari Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) Fakultas Hukum Universitas Jember pada tahun 2019 mengatakan bahwa dalam konteks pemilu, pemberdayaan dan peningkatan partisipasi pemilih disabilitas menjadi penting. Secara umum hak yang dimiliki oleh para penyandang disabilitas dalam pemilu meliputi antara lain: (i) hak untuk mendapatkan informasi tentang pemilu; (ii) hak untuk didaftarkan guna memberikan suara; dan (iii) hak atas akses ke Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Sehingga dengan melihat pernyataan komisioner KPU Kabupaten Lombok Timur, maka Sejauh ini pemilih disabilitas belum mendapatkan hak untuk memperoleh kesempatan dan perlakuan agar bisa bertindak dan beraktivitas sesuai dengan kondisi mereka.23 Masih terjadi pengabaian hak politik penyandang disabilitas dalam Pemilu, antara lain: (a). Hak untuk didaftar guna memberikan suara; (b). Hak atas akses ke TPS; (c). Hak atas pemberian suara yang rahasia; (d) Hak untuk dipilih menjadi anggota Legislatif; (e). Hak atas informasi termasuk informasi tentang pemilu; dan (f). Hak untuk ikut menjadi pelaksana dalam pemilu.
Sehingga kedepannya, jika pemilu atau pesta demokrasi lima tahunan ini bisa berjalan dengan baik maka diperlukan komisioner yang paham secara konteks apa makna dibalik pesta demokrasi ini. Agar keputusan yang sudah jelas-jelas memiliki kekuatan hukum mampu diterjemahkan ke dalam hal-hal yang lebih teknis lagi.
*Penulis adalah peneliti Lombok Research Center (LRC)