Pembibitan milik Lalu Idham Kholid memiliki dua area berbeda yang cukup luas, terletak di Dusun Tojang, Desa Lendang Nangka, letak kedua pembibitan ini berdekatan hanya beberapa meter saja. Satu area digunakan sebagai tempat pekerja menanam bibit dengan luas sekitar atu are dan area lainnya digunakan sebagai tempat perawatan bibit dengan luas yang hampir sama. Pembibitan ini sudah ada sekitar 6-7 tahun lalu, mulanya berlokasi di Kampung Pedaleman namun kini pembibitan dipindah ke Dusun Tojang dengan lokasi yang lebih strategis agar mudah diakes oleh konsumen karena letaknya yang berada di pinggir jalan.
Mulai dari pagi hingga sore hari di area pembibitan akan terlihat 6-7 orang perempuan yang bekerja sebagai penanam bibit dan pengisi sosis (media tanam). Mereka bekerja dari pukul delapan pagi hingga sore hari. Raihanun (55 tahun) adalah salah satu perempuan yang bekerja di pembibitan tersebut. Menurut penuturannya ia telah bekerja dari mulai pembibitan dibentuk di Kampung Pedaleman, mungkin sekitar enam tahun lalu sebagaimana yang diceritakan.
“Pembibitan ini punya Lalu Idham, tapi karena pembibitan yang di sana (Kp. Pedaleman) dijadikan rumah, makanya dipindah ke sini. Saya kerja dari awal pembibitan ada, mungkin ada 6-7 tahun lalu”, ungkap Raihanun.
Pekerjaan seperti ini memang tidak membuatnya menjadi kaya, tetapi dari pekerjaan ini ia bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari dan membiayai anaknya yang masih bersekolah. Saat ini ia hidup bersama suaminya yang bekerja sebagai peternak kambing dan anak bungsunya yang saat ini kelas 12 di salah satu SMK di Masbagik. Sementara itu, kedua anaknya yang lain sudah menikah dan tinggal terpisah.
“Tapi ketimbang menganggur kan lebih baik bekerja walau hasilnya sedikit, lumayan untuk belanja sekolah anak”, kata Raihanun.
Dalam sehari, Raihanun bisa mengisi 4-6 lompak/keranjang bibit dengan upah Rp5.000/lompak bibit, berarti penghasilannya sekitar Rp30.000 rupiah/hari yang dibayarkan dalam satu kali dua minggu atau satu kali sebulan. Dari penghasilanya tersebut ia pergunakan untuk membeli kebutuhan pokok, seperti beras, lauk pauk, membayar listrik dan biaya sekolah anaknya.
“Kalau ngisi sosis (media tanam) itu dibayarkan seribu rupiah per satu sosis, kalau yang isi bibit ke keranjangnya itu dibayar Rp1.500 per satu keranjang, dan untuk menanam bibit dihitung Rp5.000/lompak. Itu semua jenis bibit, mulai dari terong, cabai, tomat dan kol”, kata Raihanun menambahkan.
Saat ditanya tentang berapa biaya yang ia habiskan dala satu bulan untuk membeli kebutuhan pokok dan kebutuhan lainnya, ia ragu untuk menjawab karena tidak pernah menghitungnya. Dengan pengasilan sekitar Rp500.000/bulan mungkin rasanya tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga apalagi ditambah dengan biaya sekolah anaknya.
“Tapi alhamdulillah selama ini selalu cukup, SPP anak saya seratus ribu per bulan, bensin dan uang belanja 10-20 ribu per hari, tapi kalau lagi gak ada ya anaknya gak belanja dulu. Terkadang juga dikasi sama kakak-kakanya”, katanya.
Beruntungnya selama tiga tahun terakhir ini, Raihanun menjadi salah satu penerima manfaat Program PKH dari pemerintah, sehingga beberapa kebutuhan rumah tangga bisa lebih ringan karena bantuan yang didapatkan. Ia juga memiliki jaminan kesehatan BPJS-PBI yang dibayarkan pemerintah daerah, sehingga ia tak perlu merasa khawatir untuk memenuhi biaya pengobatan jika sewaktu-waktu ia maupun keluarga lainnya mengalami sakit.
“Kalau saya dapat PKH sudah tiga tahun, alhamdulillah kita dapat beras dan uang dalam 3 bulan sekali, kalau beras dapat 10 kilo, kalau gak dapat beras dapat uang Rp400.000. Tapi semua itu gak bisa disimpan biasanya langsung dipakai untuk beli beras atau bayar hutang”, tambah Raihanun.
Menurutnya ia menyukai pekerjaannya saat ini, meskipun tak membuatnya menjadi kaya yang penting bisa memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Terlebih pekerjaan ini dekat dari tempat tinggalnya, sehingga ia tak perlu membutuhkan ongkos tambahan. Apalagi saat ini jarang sekali ada pekerjaan yang bisa diakses oleh perempuan dan lansia yang berimbas pada semakin tingginya akan pengangguran.
“Saya sangat bersyukur ada tempat kita bekerja, karena apa sih yang bisa dilakukan perempuan di usia lanjut, kita mau kerja berat tenaga tidak ada, mau menganggur kebutuhan tetap ada setiap hari, makanya pekerjaan ini sangat membantu kami”, kata Raihanun sebelum diskusi berakhir.
Masih di area pembibitan yang sama, Wahyuni juga bekerja sebagai penanam bibit, perempuan berusia 29 tahun ini memiliki suami yang bekerja sebagai sopir truk bernama Hafiz dan dua orang anak (laki-laki dan perempuan), satunya kelas 4 SD dan lainnya belum bersekolah. Ia memilih pekerjaan sebagai penanam bibit karena ini merupakan pekerjaan yang bisa ia akses karena tak memiliki ijazah perguruan tinggi. Wahyuni adalah lulusan SMA dan menikah ketika usianya belum genap 20 tahun.
“Sulit sekarang cari kerjaan bagi ibu rumah tangga yang harus ngurus anak, makanya saya kerja di sini karena dekat dari rumah dan pekerjaannya juga mudah”, kata Wahyuni.
Menurutnya, bekerja sebagai penanam bibit memang tidak terlalu sulit tetapi membutuhkan ketelitian, karena dalam satu kotak lompak berisi 200-250 pot kecil yang harus diisi biji sayuran. Makanya prosesnya cukup lama dan membutuhkan kesabaran, mereka harus memastikan tidak ada satu pun pot yang terlewatkan dan satu pot hanya boleh diisi satu biji karena kalau lebih bibit tidak tumbuh dengan baik.
“Pekerjaannya sih gak sulit tapi prosesnya itu yang lama, kita harus pastikan satu pot terisi dengan satu biji tanaman, apalagi satu lompak itu isinya 200an, makanya kadang kita sampai sore itu cuma dapat empat lompak saja”, kata Wahyuni menjelaskan.
Alasan ia bekerja di sini juga untuk membantu memenuhi kebutuhan rumah tangga, karena baginya penghasilan dari suaminya sebagai sopir truk tak menentu dan tidak dilakukan setiap hari, terkadang dalam seminggu suaminya hanya dua kali mendapatkan panggilan untuk mengantarkan pesanan pasir atau batu. Sehingga, ia merasa bertanggung jawab membantu suaminya untuk menghidupi keluarga.
“Kalau dari nyopir bisa dapat 100-200 ribu per hari, tapi kalau cuma ngandalin dari hasil nambang (nyopir) itu tidak bisa soalnya kan tidak setiap hari, tergantung apakah ada pesanan pasir, batu, bata dan lainnya”, tambah Wahyuni.
Terlebih saat ini ia memiliki anak yang harus dibiayai sekolah, kendati tidak membayar SPP namun ia herus memenuhi kebutuhan lainnya, misalnya uang jajan, biaya buku, sepatu, tas dan seragam, minimal satu kali setahun peralatan sekoah harus diganti.
“Anak SD sekarang uang belanjanya minimal lima ribu sehari, jadi ini yang kita uahakan harus tetap ada uang untuk disimpan, walaupun kecil tapi dalam sebulan bisa habis 150-300 ribu/bulan untuk satu anak saja. Belum lagi saat kenaikan kelas, peralatan sekolah kan harus diganti semua”, kata Wahyuni mengeluh.
Wahyuni juga menuturkan selama ini ia belum pernah mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah daerah maupun pusat dan ia sangat berharap untuk itu. Terlebih saat ini semua harga kebutuhan seperti beras, gula, telur terus meningkat dan ini membuatnya harus lebih pintar mengatur keuangan dan mencari tambahan penghasilan.
“Harga beras seperempat kuintal saja sekarang paling sedikit 250 ribu, paling tidak itu harus ada dalam dua minggu. Sementara dengan penghasilan hanya 400-500 ribu per bulan, kita kadang harus hutang dulu ke mertua atau kerabat dekat, jadi kalau ada uang ya kita bayarkan untuk itu”, tutup Wahyuni.
Sebagai pemilik pembibitan, Lalu Idham Khalid saat ditemui di Kampung Pedaleman memang memiliki alasan khusus mengapa selama ini ia lebih memilih pekerja perempuan daripada laki-laki. Selain perempuan terampil dan teliti dalam bekerja ia juga memang sengaja menyasar ibu rumah tangga untuk membantu menambah penghasilan mereka.
“Pekerjaan seperti ini kan jarang ada yang minati, makanya kita rekrut ibu rumah tangga untuk sekadar bantu tambah-tambah penghasilan mereka”, ungkap Lalu Idham.
Lalu Idham juga menambahkan bahwa selama ini banyak ibu rumah tangga dan lansia yang tidak produktif disebabkan keterbatasan mereka dalam mengakses pekerjaan khususnya di sektor non formal, karena kebanyakan pekerjaan sektor non formal adalah pekerjaan berat dan tidak mungkin dilakukan lansia dan ibu rumah tangga, karena menurunnya tenaga atau kesehatan. Makanya, pembibitan ini merupakan salah satu lapangan pekerjaan yang potensial bagi lansia dan ibu rumah tangga.
“Meskipun kita tidak bisa bantu banyak, tapi setidaknya bisa lah memberdayakan para ibu rumah tangga terutama yang usia sudah lanjut”, kata Lalu Idham meambahkan.
Terkait dengan pekerja perempuan di sektor non formal yang ada di desa Lendang Nangka, Syamsudien selaku Kepala Seksi Kesejahteraan (Kesra) Desa Lendang Nangka sangat berharap bahwa desa bisa memberikan lebih banyak kegiatan atau program pemberdayaan perempuan. Karena selama ini pemberdayaan perempuan masih sangat terbatas dan masih jarang menyentuh ke sektor pertanian, perkebunan atau peternakan.
*Penulis : Bq. Nurul Nahdiat (Staf Media pada Lombok Research Center)