Lombok Timur, 6 Maret 2024 – Pemerintah Lombok Timur tampaknya harus berjuang keras untuk menekan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak. Pasalnya Kabupaten Lombok Timur masih menjadi urutan pertama di Provinsi Nusa Tenggara Barat sebagai kabupaten dengan kasus kekerasan tertinggi. Padahal, Agustus 2022 lalu Kabupaten Lombok Timur mendapatkan predikat sebagai Kabupaten Layak Anak (KPA) dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak.
Angka ini dikhawatirkan akan terus meningkat jika tidak dilakukan upaya signifikan dari pemerintah daerah atau lokal dalam menangani kasus kekerasan. Bukan berarti bahwa pemerintah berdiam diri, berbagai upaya sudah dilakukan, salah satunya dengan membentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah Pelindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) di bawah Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB).
Lombok Research Center (LRC) dalam implementasi Program INKLUSI bersinergi dengan pemerintah untuk menekan angka kekerasan di Lombok Timur. LRC sudah membentuk Kelompok Konstituen (KK) di 15 Desa di Lombok Timur yang anggotanya berasal dari pemerintah desa, kawil, kader maupun masyarakat setempat. KK yang sudah dibentuk akan menjalankan fungsi sebagai pendamping masyarakat dalam penanganan kasus kekerasan dan kasus perlindungan sosial di masing-masing desa.
Dalam upaya mencegah kasus kekerasan seperti KDRT, perkawinan anak, perundungan/bullying, penelantaran anak dan seterusnya, Lombok Research Center (LRC) memberikan sosialisasi di 15 desa dampingan dalam agenda “Pertemuan Penguatan Kelompok Konstituen Untuk Penerimaan Pengaduan, Penyediaan Layanan Komunitas, Advokasi Kebijakan Dan Partisipasi Politik Tingkat Desa di Kabupaten Lombok Timur”. Rabu, 6 Maret 2024, sosialisasi dilaksanakan di Desa Aikmel Timur, Kecamatan Aikmel, Lombok Timur.
Kepala Desa Aikmel, Asmui yang berkesempatan hadir dalam kegiatan tersebut menyampaikan harapanya agar agenda ini membawa perubahan ke arah yang lebih baik di desa. Dengan penguatan Kelompok Konstituen tentu akan membantu masyarakat untuk mengakses informasi dan layanan sosial pemerintah. Hal ini sesuai dengan tujuan Program INKLUSI agar semua orang dan semua kelompok masyarakat bisa merasakan manfaat dari pembangunan yang menjadi.
“Karena tujuan utama dari Program INKLUSI itu sendiri supaya tidak ada masyarakat yang dibeda-bedakan. Semua orang mendapatkan hak yang sama, semua orang berhak dilayani oleh pemerintah”, kata Asmui.
Keberadaan KK di desa-desa akan memberikan lebih banyak porsi terkait informasi, pencegahan kekerasan dan perlindungan sosial yang bahka belum banyak diketahui oleh masyarakat. KK beranggotakan orang-orang yang terlatih mendampingi korban kekerasan termasuk dalam mengetahui mekanisme pelaporan pelayanan perlindungan sosial. KK adalah salah satu mesin pembangunan di desa-desa, karena mereka adalah orang yang paling mengenal dan paling mengatahui permasalahan di suatu wilayah.
“Kita sudah ada wadah di Kelompok Konstituen namanya layanan berbasis komunitas (LBK), sekarang bagaimana kita mendorong agar masyarakat mengetahui mekanisme pelaporannya. Hari ini kita juga hadirkan narasumber dari Dinsos yang akan berbicara tentang perlindungan sosial dan Dinas P3AKB yang akan berbicara mengenai kasus kekerasan dan bagaimana pemerintah memfasilitasi korban kekerasan agar dilayani dengan baik”, kata Baiq Titis Yulianty selaku Manajer Program INKLUSI-LRC.
Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan (Kabid PP) Dinas DP3AKB Kab. Lombok Timur, Ibu Fathiyah yang hadir sebagai narasumber menyoroti trend kasus yang masuk ke laporan DP3AKB, dari 203 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di tahun 2023 paling banyak ialah kasus KDRT dan kasus perkawinan anak. Padahal sudah banyak sekali regulasi yang mengatur tentang tindak kekerasa terhadap perempuan dan anak, sekarang yang menjadi pertanyannya apakah kita sudah maksimal dalam menerapkan aturan tersebut dan apakah pemerintah daerah maupun desa sudah maksimal menyosialisasikan aturan tersebut kepada masyarakat?
Pemerintah daerah di tahun 2023 sudah menetapkan Perda Inklusif tentang Penghormatan dan Perlindungan Terhadap Perempuan, Disabilitas dan Anak (Perda Lombok Timur Nomor 5 Tahun 2023). Bupati juga sudah membuat surat edaran yang mengharuskan setiap sekolah untuk membentuk Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS), lalu ada Perdes Tentang Pencegahan Perkawinan Anak di 254 desa/kelurahan.
Begitu juga di kabupaten sudah terbentuk Satgas Perlindungan Perempuan dan Anak, pertama yang dibentuk oleh NGO dan kedua dibentuk oleh pemda yang anggotanya Dinas Pendidikan, Dinsos, DPMD, DPRD, Dukcapil, dan KPAI, selanjutnya ada Desa Ramah Perempuan dan Perlindungan Anak (DRPPA) yang sudah terbentuk di 13 desa. Kemudian ada pembentukan kelompok komunitas perempuan, kelompok PIK-R di setiap sekolah, Duta Genre di tiap desa, sekolah perempuan sudah ada 13 kelompok di 9 kecamatan dan Kampung Keluarga Berkualitas akan segera dideklarasikan di 254 desa/kelurahan yang dulunya bernama kampung KB.
“Bahkan kalau merujuk pada UU NO. 12 Tahun 2022 bagi siapa saja yang melakukan perkawinan anak atas dasar pemaksaan, budaya dan sebagainya itu dikenakan hukuman 9 tahun penjara dan denda 200 juta. Artinya, ini sudah banyak regulasi yang mengatur, hukumannya sudah jelas. Sekarang tinggal kita, apakah kita sudah maksimal menjadikan aturan tersebut sebagai pedoman hidup. Apakah masyarakat sudah tahu tentang aturan tersebut? Ini yang menjadi PR kita bersama”, kata Fatiyah.
Lalu Muhammad Isnaeni, Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial, Dinas Sosial Lombok Timur sekaligus narasumber lebih banyak berbicara tentang perlindungan sosial yang bisa diakses oleh korban kekerasan maupun kelompok rentan lainnya. Rehabilitasi sosial di Dinas Sosial merupakan salah satu bentuk perlindungan sosial yang bisa diakses oleh masyarakat selama ada laporan dan sudah dilakukan asesmen atau intervensi. Rehabilitasi sosial tidak hanya tentang perlindungan untuk mengembalikan kehidupan dasar seseorang. Namun di dalamnya juga terdapat pemberdayaan masyarakat, khususnya bagi korban anak, lansia, disabilitas, tuna sosial, dan korban NAPZA.
“Jadi, jika menemukan kekerasan, lansia, anak terlantar dan kasus kelompok rentan lainnya yang butuh perlindungan, silakan diaporkan. Boleh langsung ke UPTD PPA dan Unit PPA di Polres, jika tidak bisa mengakses layanan tersebut, bisa mengadu ke desa atau melalui Kelompok Konstituen”, kata Mamiq Is.
Bq. Diat*