Penguatan Kelompok Konstituen (KK) Untuk Membangun Desa Danger yang Aman dan Ramah Perempuan dan Anak

Lombok Timur, Senin, 25 Maret 2024 – Program INKLUSI, Yayasan BaKTI dan Lombok Reseach Center (LRC) menggelar agenda Pertemuan Penguatan Kelompok Konstituen (KK) Untuk Penerimaan Pengaduan, Penyediaan Layanan Komunitas, Advokasi Kebijakan dan Partisipasi Politik Tingkat Desa di Kabupaten Lombok Timur. Kegiatan yang dilaksanakan di Desa Danger, Kecamatan Masbagik, Lombok Timur ini juga bekerjasama dengan pemerintah desa dan kelompok konstiuen Desa Danger.
 
Agenda ini bertujuan untuk mensosialisasikan mekanisme pelaporan kasus kekerasan dan kasus perlindungan sosial untuk meningkatkan partisipasi masyarakat. Beberapa jenis permasalahan sosial yang kerap terjadi di desa yakni masih maraknya kasus KDRT, kasus perkawinan anak, dan bullying, sehingga harus ada upaya preventif, kuratif dan aksi kolaboratif dalam pencegahan dan penghapusan kekerasan.
 
“Pertemuan ini tentu akan membawa dampak baik bagi pemerintah desa dan masyarakat, karena dari sini kita bisa berdiskusi bersama terkait permasalahan sosial, yang kemudian akan kita temukan jalan keluarnya bersama”, Lalu Wendi Hendrian, S.Ap saat membuka kegiatan.
 
Salah satu yang menjadi permasalahannya, bahwa tidak semua masyarakat berani untuk melapor. Untuk itu, sebagai perpanjangan tangan dari Program INKLUSI, Yayasan BaKTI dan LRC menghadirkan kelompok konstituen yang akan menjalankan Layanan Berbasis Komunitas (LBK). Baiq Titis Yulianty selaku Manajer Program INKLUSI-LRC menyampaikan, layanan tersebut bisa digunakan masyarakat sebagai tempat pengaduan kasus dan pendampingan bagi korban kekerasan maupun perlindungan sosial.
 
“Prinsip kerja Layanan Berbasis Komunitas (LBK) adalah jika ada pengaduan/laporan, LBK tidak berjalan tanpa ada laporan. Hadirnya LBK ini akan menghubungkan permasalahan masyakarat dengan program perlidungan yang ada di pemerintah (OPD) agar masyarakat mendapatkan bantuan yang dibutuhkan”, kata Baiq Titis.
 
Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan, Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Lombok Timur, Ibu Fathiyah, S.ST, membeberkan kasus kekerasan selama tiga tahun terakhir, dari 21 kecamatan, kasus kekerasan tertinggi terjadi di Kecamatan Masbagik, Sakra Timur dan Jerowaru. Terdapat kasus kekerasan terhadap perempuan sebanyak 111 kasus (2021), 40 kasus (2022) dan 41 kasus (2023). Sementara itu, kasus kekerasan terhadap anak lebih angkanya lebih tinggi, yakni 101 kasus (2021), 187 kasus (2022) dan 162 kasus (2023). Selama ini korban kasus kekerasan adalah perempuan, anak dan disabilitas.
 
“Selama lima tahun terakhir, trend kasus tertinggi sebanyak 40-50 persen adalah KDRT yang korbannya perempuan. Di tahun 2023, kasus kekerasan terhadap perempuan paling tinggi terjadi di Kecamatan Jerowaru sebanyak 8 kasus dan kasus kekerasan terhadap anak tertinggi di Kecamatan Masbagik (23 kasus) dan Kecamatan Sakra Timur (21 kasus)”, kata Ibu Fathiyah.
 
Lalu Muhammad Isnaeni, SKM.,MM (Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial, Dinas Sosial Lombok Timur) atau kerap disapa Mamiq Is menyoroti kasus kekerasan anak akibat perkawinan anak. Menurutnya, masalah sosial ini memang menjadi dilema bagi kawil di setiap daerah. Untuk itu, ia mengimbau perlu dibentuk satgas atau Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) di tiap desa yang berwenang untuk menerima dan menindaklanjuti laporan kasus kekerasan.
 
“Jika ada kasus kekerasan yang tidak bisa selesai di tingkat lokal, bisa langsung menghubungi UPTD PPA Lotim baik secara online maupun offline. Kalau sudah dilakukan intervensi nanti akan lebih mudah ditentukan jenis rehabilitasi yang dibutuhkan”, kata Mamiq Is melanjutkan.
 
Kabid Rehsos tersebut juga menekankan bahwa dalam kasus perkawinan anak, menikahkah anak bukanlah solusi. Justru hal tersebut akan membawa lebih banyak permasalahan, yakni kemiskinan, KDRT, perceraian, stunting dan kehamilan berisiko. Sehingga, harus ada komitmen dan upaya pencegahan yang kita lakukan agar masyarakat berhenti menormalisasi hal tersebut. Terlebih, kasus perkawinan anak sudah diatur di dalam UU Nomor 12 Tahun 2022 Tentang TPKS, dan bagi yang melanggar dikenakan sanksi kurungan 9 tahun dan denda paling banyak Rp200 juta.
 
“Salah satu tujuan diciptakanya UU TPKS, UU PKDRT dan regulasi lain tentang pencegahan kekerasan adalah untuk memberikan efek jera kepada pelaku. Karena undang-undang itu sifatnya delik aduan, jadi, kalau tidak ada laporan, undang-undang itu juga tidak bisa dijalankan”, kata Mamiq Is sebelum kegiatan berakhir.
 
BQ. Diat*