Kalau tidak berkunjung ke tempat ini mungkin penulis tidak akan pernah tahu bahwa ternyata ada sebuah tempat yang dijadikan sebagai lokasi Huler batu. Huler batu adalah tempat untuk memproses batu-batu besar menjadi kerikil-kerikil yang lebih kecil menggunakan Huler husus. Batu-batu besar tersebut dimasukkan ke dalam sebuha mesin, kemudian nanti akan menghasilkan batu dengan ukuran yang lebih kecil dengan ukuran yang sama.
Lokasi Huler batu tersebut berada di Desa Loyok, Kecamatan Sikur, Lombok Timur, tempatnya cukup luas sekitar empat sampai lima are. Lokasi tersebut berada di pinggir jalan kecil yang tak terlalu ramai dan dikelilingi area persawahan yang luas di sekitarnya. Di area Huler batu tersebut terdapat dua buah mesin penggiling batu, dan sebuah bangunan tak beratap tempat batu-batu yang baru dibawa oleh truk-truk diturunkan.
Di samping bangunan tersebut terdapat halaman yang cukup luas sebagai area untuk menyusun batu-batu kerikil yang sudah digiling. Batu-batu kerikil tersebut adalah batu-batu yang siap diangkut oleh truk-truk untuk di bawa ke konsumen. Area tersebut dilindugi oleh tembok yang tak terlalu tinggi dan pintu masuknya cukup lebar dan sepertinya sengaja tak dipasangkan gerbang untuk memudahkan para sopir membawa truk masuk ke dalamlokasi itu.
Hari itu Sabtu, 24 Februari 2024 sekitar pukul lima sore dengan cuaca yang masih mendung setelah hujan reda penulis berkunjung ke pabrik pemecah batu tersebut. Di area yang biasa disebut sebagai lokasi Huler batu itu lah penulis bertemu dengan Inak Asmaeni atau dikenal dengan Inak As yang selama dua tahun terakhir bekerja di pabrik tersebut. Asmaeni saat ditemui sepertinya tengah bergegas untuk pulang setelah menyelesaikan pekerjaannya sebagai pengeruk batu-batu yang sudah digiling. Terlihat ia sudah merapikan alat kerjanya dan membersihkan sebagian badannya yang terkena tanah dan cipratan air.
Di tahun 2021, Asmaeni dan suaminya diajak oleh Pak Ahyar, nama pemilik pabrik pemecah batu untuk bekerja di tempat tersebut, karena tak memiliki kesibukan lain, tanpa menunggu apapun ia langsung mengiyakan ajakan tersebut. Di pabrik itu ia bekerja dengan dua orang perempuan yang lain sebagai pengeruk batu seperti dirinya.
Mesin penghancur batu atau dikenal sebagai Jaw Crusher Mecine merupakan alat pemecah batu menjadi kerikil dan pasir, namun orang setempat mmenyebutnya sebagai Huler batu. Namun yang digunakan di pabrik Pak Ahyar bukan mesin besar yang biasa ditemukan daam proyek pembangunan skala besar. Huler batu Pak Ahyar ukurannya relatif kecil dengan ukuran panjang sekitar tiga meter yang dijalankan dengan bahan bakar berupa solar.
Pabrik pemecah batu milik Pak Ahyar didirikan olehnya sendiri di tanah pribadinya, pabrik tersebut menyediakan jasa bagi konsumen yang ingin memecah batu untuk pembangunan, terkadang beberapa konsumen juga memintan kerikil atau pasir yang sudah jadi. Pak Ahyar sendiri mengambil upah dari sana untuk mengembangkan usahanya dan menggaji para pekerjanya.
Meski setelah seharian bekerja dan pastinya lelah, namun ia tak keberatan untuk berbincang sebentar dengan penulis tentang pekerjaannya. Asmaeni mengawali ceritanya dengan menyampaikan bahwa ia sudah dua tahun bekerja di tempat tersebut sebagai pengeruk batu yang sudah digiling. Pengeruk batu artinya, orang yang memindakan batu dari tempat penggilingan dan menyusun bat-batu tersebut ke area yang lebih luas agar mudah diangkut oleh para supir truk. Ketika supir truk tiba, Asmaeni juga bertugas untuk menyekop batu-batu tersebut ke dalam truk bersama rekan-rekannya yang lain.
“Pabrik ini sudah ada dua tahun lalu, saya mulai kerja saat itu juga untuk ngangkut batu yang sudah diHuler ke atas. Jadi batu yang jatuh dari Huler itu kita sekop dan pindahkan ke sana”, kata Asmaeni sambil menunjuk tumpukan kerikil yang berada di pinggir tembok pabrik. (24/02).
Selama dua tahun ia bekerja di sana bersama suaminya dan dan dua temannya yang lain. Suaminya adalah salah satu pengeler (penggiling) batu di pabrik tersebut. Karena pekerjaan tersebut berat dan memerlukan tenaga yang lebih besar, makanya yang ditunjuk bertugas untuk memasukkan batu ke dalam mesin penggiling adalah laki-laki. Sementara yang perempuan bekerja untuk memindahkan batu yang sudah digiling tersebut ke tempat lain.
Selain ditemani bisingnya suara mesin, para pekerja perempuan tersebut juga harus bekerja cepat agar batu-batu yang sudah digiling tidak menumpuk di bawah mesin. Meskipun pekerjaannya cukup berat, Asmaeni mengaku sudah terbiasa melakukannya karena waktu dua tahun bukan waktu sebentar untuk menempa dirinya melakukan pekerjaan tersebut.
“Siapa sih perempuan yang mau melakukan pekerjaan kasar seperti ini, tapi karena tuntutan ekonomi apapun pekerjaannya harus bisa dilakukan”, kata Asmaeni. (24/02)
Terlebih Asmaeni memiliki seorang anak laki-laki yang masih duduk di bangku sanawiyah (SMP), sebagaimana orangtua lainnya ia berharap agar anaknya bisa sekolah setinggi-tingginya agar kelak memiliki kehidupan yang lebih baik. Dua anaknya yang lain sudah menikah, kini Nurnaini tinggal bersama suami dan satu anaknya.
Asmaeni sendiri tinggal tak jauh dari pabrik tersebut, rumahnya hanya sekitar setengah kilo dari tempat ia bekerja, sehingga ia dan suami cukup berjalan kaki setiap hari menuju pabrik tersebut. Ia bekerj setiap hari mulai pukul delapan pagi hingga pukul lima sore, namun ketika waktu solat tiba mereka boleh pulang ke rumah untuk makan siang dan istirahat sebentar kemudian melajutkan pekerjaanya hingga menjelang matahari terbenam.
Untuk upahnya sendiri, dari keterangan Asmaeni ia diupah per satu truk batu yang digiling itu 75-80 ribu per hari, dan upahnya diberikan dalam seminggu sekali setiap hari Jumat. Jadi, jumlah batu yang digiling sangat menentukan jumlah penghasilannya. Terkadang, dalam seminggu ia mendapatkan Rp300-400 ribu, namun ketika pesanan sedang sepi hasil yang didapatkan bisa kurang dari jumlah tersebut. Tentu saja, untuk kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah anaknya, jumlah tersebut terbilang sangta kecil, apalagi melihat ringkat kesulitan dan risiko pekerjaannya.
“kita diupah sekitar 75-80 ribu per hari karena dihitung per truk baru yang digiling, jadi kalau lagi sepi ya terkadang upahnya lebih kecil dari itu”, kata Asmaeni. (24/02)
Nurain juga mengeluhkan harga kebutuhan yang serba naik hingga saat ini membuatnya kesulitan menyelaraskan antara pendapatan dengan kebutuhan rumah tangganya. Belum lagi ia memiliki tanggungan anaknya yang masih sekolah. Sedikitnya, dalam seminggu itu ia harus mengeluarkan uang sebanyak Rp500 ribu untuk keperluan rumah tangga dan belanja sekolah anaknya, ini hanya kebutuhan pokok belum kebutuhan sekunder lainnya.
Jika dikalkulasikan penghasilannya dengan suaminya suaminya yang berikisar Rp300 ribu di kali dua, artinya dalam seminggu mereka hanya memiliki uang sebesar Rp600 ribu per minggu, dengan pengeluaran Rp500 ribu per minggu mereka hanya memiliki sisa uang Rp100 ribu yang bisa digunakan untuk kebutuhan lainnya.
“Harga kebutuhan pokok sekarang serba naik, uang jadi tidak ada harganya saat ini. Kalau mau nabung juga susah karena kebutuhan yang banyak”, kata Nurhayati mengeluh. (24/02)
Begitu juga dengan risiko dari pekerjaanya yang tinggi, karena tidak ada alat keselamatan kerja seperti masker, sarung tangan, helm, rompi dan lainnya. Setiap hari, Asmaeni hanya menggunakan sepatu boots untuk melindungi kaki dari kerikil dan air. Tidak ada jaminan keselamatan kerja bagi buruh kasar sepertinya juga hal yang amat merugikan, sebab jika terjadi kecelakaan saat bekerja tidak akan ada yang menanggung biaya pengobatannya, artinya ia sendiri yang harus mengeluarkan biaya untuk pengobatannya.
Asmaeni juga mengeluhkan tentang dirinya yang tidka pernah medapatkan bantuan dari pemerintah, katanya hanya sekali saja ia mendapatkan bansos dari pemerintah saat menjelang pemilu, pemeritah daerah membagikan bantuan sosial berupa beras sebanyak 25 kilogram bagi daftar penerima bantuan. Waktu itu, ia diinformasikan oleh kader setempat untuk membawa kartu keluarga sebagai salah satu syarat menerima bantuan.
“Belum pernah dapat bantuan dari pemerintah seperti orang-orang lain, cuma pernah dapat kemarin sebelum pemilu itu, yang dapat beras 25 kilo per kepala keluarga yang diambil di kantor desa”, ungkap Asmaeni. (24/02)
Keadaan terasa sulit karena Asmaeni hanya memiliki pekerjaan ini sebagai mata pencaharian tetapnya, bekerja sebagai buruh di pabrik pemecah batu menjadi harapan sat-satunya tempat ia dan keluarganya bertumpu. Setiap hari tak hanya harus menjadi seorang istri dan ibu dari anak-anaknya, namun harus memastikan bahwa setia hari dirinya menjadi perempuan yang kuat untuk menghidupi keluarganya.
Tak ada kata libur dalam kamusnya, karena libur artinya ia tidak uang yang dihasilkan, paling ia hanya mengambil libur saat kondisi tidka memungkinkan seperti sakit atau ada acara keluarganya yang tidak bisa ia tinggalkan. Selain dari hari itu, semua hari tetap sama, ia harus bangun pagi-pagi sekali untuk menyiapkan makanan bagi suami dan anaknya kemudian berangkat bekerja sebagai rutinitas hariannya.
“Kesehatan bagi pekerja seperti kami adalah modal utama, karena kalau sudah sakit dan tidak bisa bekerja artinya kami tidak ada pemasukan di hari itu”, katanya sore itu. (24/02)
Namun ada hal-hal yang ia syukuri selama bekerja sebagai buruh di lokasi pemecah batu tersebut, selain bisa mendapatkan penghasilan dari tempat tersebut. Ia merasa senang bekerja karena memiliki teman kerja yang menyenangkan sebagai tempat berkeluh kesah atau sekadar sebagai tempat bercerita. Kata Asmaeni mereka merasa sudah seperti satu keluarga saking intens bertemu setiap harinya.
Asmaeni memang tidak mungkin bekerja selamanya di sana, tetapi setidaknya di usia yang sekarang ini dengan kondisi fisik yang masih sehat, tak apa baginya untuk bekerja sementara waktu di tempat tersebut. Motivasi terbesarnya hanya satu yakni untuk menyekolahkan anaknya setinggi mungkin agar kelak ia memiliki hidup yang lebih baik dari dirinya.
Ia memiliki keinginan agar suatu saat bisa menyewa lahan di sekitar tempat tinggalnya untuk bertani atau berkebun. Ia berharap semoga keinginannya segera terwujud dari uang yang kumpulkan setiap harinya. Dengan begitu, ia tak perlu lagi menggeluti pekerjaan berat tersebut saat ia sudah lansia kelak. Karena hanya itu keinginannya saat ini, ia ingin menghabiskan masa tuanya sebagai petani.
“Pinginnya sih beli tanah, tapi kalau gak bisa kebeli nyewa juga tidak apa-apa biar nanti bisa berkebun sekedar nanam sayuran. Soalnya kan saya gak mungkin sehat terus dan gak mungkin muda terus untuk melakukan pekerjaan ini”, kata Asmaeni sembari tersenyum. (24/02)
Meskipun saat ini merasa senang memiliki pekerjaan tetap, tetapi di sisi lain ia turut berempati terhadap pemecah batu tradisional yang saat ini sudah jarang ditemukan, biasanya para pemecah batu tersebut banyak ditemukan di pinggir-pinggir sungai namun sekarang sudah jarang ditemukan. Salah satunya, karena sekarang orang-orang memilih beralih menggunakan mesin yang prosesnya lebih mudah, efisien dengan hasil yang besar. Sehingga, jarang sekali konsumen melirik para pemecah batu tradisional. Keberadaan mesin juga membuat tenaga manusia kurang dibutuhkan yang membuat lapangan pekerjaan semakin sulit diakses.
“Kalau dulu, kan, banyak kita temukan pemecah batu di pinggir-pinggir sungai, apalagi di Loyok memiliki banyak sungai. Tapi sekarang sudah jarang ditemukan karena sudah ada mesin, bahkan pengeruk pasir saja sekarang sudah jarang sekali kita temukan”, ungkap Asmaeni. (24/02)
Sebelum diskusi berahir, Asmaeni berpesan kepada pemerintah agar buruh sepertinya bisa diperhatikan dan disejahterakan. Ia berharap pemerintah juga memprioritaskan buruh kasar sepertinya menjadi daftar penerima bansos atau menjadi daftar penerima kartu kesehatan (BPJS) yang disubsidi pemerintah. Jika tidak bisa mendapatkan hal di atas, setidaknya pemerintah bisa membuat kebijakan yang lebih adil agar harga-harga kebutuhan pokok tetap stabil dan tidak terus naik dari tahun ke tahun yang membuat rakyat kecil terus menderita.
“Kalau tidak menjadi penerima bantuan, setidaknya pemerintah bisa bantu turunkan harga beras dan kebutuhan pokok lainnya seperti semula, agar orang-orang kecil seperti kami tidak lebih menderita lagi”, kata Nurhayani sore itu sembari bersiap untuk pulang menuju rumahnya. (24/02)
*Baiq Diat