Berniaga Untuk Keluarga Meski Usia Menua

Dinginnya udara sepertinya bukan halangan bagi para pedagang yang berasal dari Lombok Timur untuk bergegas membawa barang dagangannya ke Kota Mataram. Kendati harus menempuh perjalanan satu jam lebih menggunakan kendaraan umum, hal itu bukan tantangan bagi para pedagang tersebut. Angkutan umum yang dipakai adalah engkel, sejenis bus kecil yang beroperasi di seluruh pulau Lombok dengan rute tertentu. Bus ini menggunakan sasis dari truk engkel atau truk empat roda seperti Mitsubishi Colt Diesel FE Series.

Hari itu terlihat beberapa penumpang di dalam engkel, sepertinya mereka semua memiliki tujuan yang sama menuju Kota Mataram namun mungkin dengan urusan yang berbeda-beda. Mereka terlihat membawa karung-karung yang berisi sayuran dan bahan makanan lainnya. Ada juga yang terlihat membawa daging dan ikan. Penulis melihat salah seorang perempuan yang duduk di salah satu bangku paling pojok, sepertinya ia adalah seorang pedagang yang bergegas menuju Pasar Mandalika, yaitu salah satu pasar tradisional di Kota Mataram.

Pedagang tersebut bernama Nurhayati, seorang perempuan kepala keluarga yang saat ini sudah berusia 49 tahun. Ia setiap hari berangkat dari tempat tinggalnya di Desa Aikmel, Kecamatan Aikmel, Lombok Timur menuju Pasar Mandalika, Kota Mataram menggunakan engkel. Setiap pagi sekitar pukul enam pagi ia sudah bersiap di pinggir jalan untuk menunggu angkutan umum bus engkel yang akan menjemputnya.

Nurhayati akan membawa dua sampai tiga karung sayuran yang sudah ia beli pada tengkulak di sore harinya, kemudian esok hari ia akan membawa sayur-sayur tersebut untuk dijual eceran di Pasar Mandalika. Sayuran yang dijualnya pun beragam, mulai dari kol, kangkung, kacang panjang, sawi, toge, mentimun, bawang dan rempah-rempah. Untuk modalnya, ia bisa menghabiskan Rp300 ribu hingga Rp500 ribu. “Nggak banyak sih, sesanggupnya aja yang dijual kadang dalam sehari modalnya dari Rp300 ribu-Rp500 ribu”, ungkapnya saat ditemui di dalam perjalanan. (19/02).

Perjalanan yang jauh untuk menuju lokasi jualan bukanlah masalah baginya, apalagi setiap hari ia harus mengeluuarkan ongkos yang lumayan untuk menuju Pasar Mandalika. Dalam satu kali perjalanan, ia harus mengeluarkan sedikitnya Rp20.000, kalau ditotalkan dalam sehari ia harus mengeluarkan uang sebesar Rp40.000 setiap harinya.

Setiap hari ia berangkat pukul enam pagi bahkan kurang dari itu dan pulang menjelang sore hari sekitar pukul lima sore. Rutinitas tersebut ia lakukan setiap hari tanpa mengenal rasa lelah, sore hari ketika tiba di rumah ia akan menyiapkan makanan kemudian menemui para tengkulak untuk membeli sayuran yang akan ia besok untuk berjualan. “Sudah ada langganan untuk borongan sayur, biasanya mereka yang antar ke rumah. Terkadang bisa borong di Pasar Paokmotong juga sekalian pas balik dari Pasar Mandalika, nanti naik engkel lagi sampai Aikmel”, kata Nurhayati menjelaskan.
 
Nurhayati sudah memulai usahanya ini sejak tahun 2009/2010, ia lupa kapan tepatnya. Awalnya karena ia melihat teman-teman di kampungnya yang berjualan ke Pasar Mandalika. Dari sana ia mencoba menggunakan uang pribadinya sebagai modal awal untuk membeli sayur-sayuran hingga ia saat ini sudah memiliki lapak di Pasar Mandalika. Ia lupa berapa harga awal saat ia membeli petakan tanah untuk berjualan tersebut di sana, mungkin sekitar Rp300-500 ribu, dan untuk ukuran uang zaman dulu itu terbilang cukup mahal. Selanjutnya para pedagang tersebut akan membayar retribusi sesuai dengan ketentuan pemda.

“Awalnya saya coba-coba aja sih karena dulu itu diajak oleh teman, awalnya gak berani borong banyak-banyak jadi coba sedikit dulu dan sampai sekarang alhamdulillah menjadi mata pencaharian tetap saya. Jadi sistemnya itu di sana kita beli tanahnya perpetak, saya lupa mungkin sekitar Rp300 atau Rp500 ribu, intinya sekitar segitu, kata Nurhayati.

Untuk lapaknya di Pasar Mandalika ia tidak menggunakan meja atau bendala (sejenis peti barang untuk penjual di pasar), ia cukup menggelar karung dan menata barang dagangan di atasnya dengan beratapkan terpal untuk menghalau terik matahari dan hujan. Para pedagang yang berjualan di Pasar Mandalika dikenakan retribusi sebesar Rp4.500 per harinya tak terkecuali Nurhayati. Untuk retribusi tersebut sudah ada peraturan daerahnya, karena sebagian dari retribusi tersebut akan menjadi pemasukan daerah.

Dari hasil berjualan, Nurhayati bisa meraup keuntungan sampai 50 persen, namun tidak menentu tergantung dari jumlah sayuran yang laku terjual dan harga sayuran di pasar. Namun dari pengakuannya, seringkali ia sendiri tak menghitung berapa jumlah keuntungan yang didapatkan dalam sehari, tetapi ia tetap menargetkan agar sayurannya terjual habis. Terlebih harga sayuran yang tak menentu yang terkadang naik dan turun, hal ini baginya adalah tantangan yang harus dihadapi sebagai pedagang. “Yang namanya sayuran kan tidak ada harganya, jadi kadang kalau ketemu harga yang bagus ya untungnya banyak. Sebaliknya, kalau lagi anjlok ya sudah diterima saja. Yang terpenting kita tetep usaha, inysaallah rezeki akan selalu ada”, kata Nurhayati.

Nurhayati memilih berjualan di Pasar Mandalika bukan tanpa alasan, jika ingin mendapatkan sesuatu yang lebih besar maka ia juga harus melakukan usaha yang lebih besar. Ia juga harus memiliki strategi yang berbeda dari orang di sekitarnya jika ingin menjadi orang yang sukses. Kalau ingin berjualan sayuran, ia tak mungkin berjualan di tempat tinggalnya, karena Lombok Timur menjadi penghasil sayuran terbesar di NTB. Sehingga, ia harus mencari lokasi lain, dimana sayuran tidak menjadi komoditas utama daerah tersebut, jawabannya adalalah di daerah Mataram sekitarnya.

“Kalau orang Mataram jualan tahu dan tempe ke sini, kenapa enggak saya jualan sayur ke sana. Kalau jualan sayuran di Lotim kan banyak saingannya, kalau di Pasar Mandalika kan itu yang paling dicari”, kata Nurhayati menerangkan alasannya. Meskipun mengaku tak memperoleh keuntungan yang banyak dari berjualan sayuran, Nurhayati memiliki tabungan haji yang sudah lunas sejak tahun 2012, dan ia berharap tahun depan namanya menjadi salah satu daftar haji. Tabungan haji tersebut ia kumpulkan sedikit demi sedikit dari hasil berjulan selama bertahun-tahun. Jangankan bagi orang lain, bagi dirinya sendiri ia merasa hal itu seperti mustahil, namun karena tekadnya yang kuat, akhirnya ia dapat mewujudkan keinginannya agar bisa pergi ke tanah suci.

“Saya sudah setor dari tahun 2012, itu dari tabungan saya dari jualan ini. Semoga tahun depan saya bisa dipanggil ke tanah suci mumpung saya masih sehat untuk beribadah”, kata Nurhayati berharap. Selain memiliki tabungan haji, dari hasil berjualannya saat ini Nurhayati berhasil membangun sebuah rumah di Aikmel, dari ceritanya saat ini rumah tersebut tengah di renovasi dan sudah berjalan 80 persen. Ia menargetkan rumahnya selesai direnovasi bulan ini, makanya ia juga harus tetap semangat untuk mencari uang lebih banyak, karena ada kebutuhan lebih banyak yang harus dikeluarkan.

“Sekarang saya lagi renovasi rumah di Aikmel, targetnya rumah tersebut selesai bulan ini. Itu nanti akan jadi rumah untuk mengabiskan masa tua saya”, tambah Nurhayati. Berbicara soal keluarganya, Nurhayati kini tinggal seorang diri karena suaminya telah meninggal satu tahun lalu dan ia tak memiliki anak. Namun, ia bersyukur bisa tinggal dekat dengan keluarga dan kerabat yang lain dan ia memiliki rutinitas berjualan setiap harinya, sehingga ia tak perlu merasa kesepian. Berjualan, selain memberikan manfaat secara finansial juga memberikannya semangat untuk terus menjalani hidup dengan sebaik mungkin dan itu merupakan hal yang patut ia syukuri.

Ia juga menceritakan rencana ke depan jika kelak sudah tak memungkinkan baginya untuk berjualan ke Pasar Mandalika, ia akan tetap berjualan di rumahnya agar ia tetap memiliki aktivitas dan pemasukan. Yang terpenting di usianya masih sehat seperti saat ini akan berupaya untuk terus bekerja dan melakukan hal produktif dalam hidupnya. Meskipun saat ini bisnis kecilnya terbilang lancar, sebagai pedagang ia juga pernah mengalami pasang surut dalam berjualan. Ketika ia belum mengetahui bagaimana mekanisme pembukuan dan tidak memisahkan antara modal dengan keuntungan. Hal tersebut membuat keuangannya menjadi tidak sehat sehingga ia harus meminjam kepada keluarga yang lain untuk menombok kerugiannya.

“Dulu waktu awal berjualan itu kan saya tidak mengerti pembukuan, jadi tidak terpisah antara modal dan keuntungan. Tapi sekarang walapun kita tulis secara kasar setidaknya ada pembukuan sehingga jelas mana modal dan keuntungan yang didapatkan”, kata Nurhayati. Selama berjualan, Nurhayati selalu mengusahakan agar permodalan yang digunakan berasal dari uang pribadi dan dibantu oleh suaminya. Terkadang ia juga meminjam kepada keluarga yang lain jika memang keadaannya tidak memungkinkan. Ia sanga menghindari meminjam kepada rentenir atau litah darat yang dapat menjerat hidupnya sewaktu-waktu. Terlebih saat ini banyak sekali koperasi ilegal yang tidak diawasi oleh pemerintah.

Ia juga menceritakan pengalamannya yang hampir tertipu oleh Bank Keliling (rentenir) yang mengatasnamakan dirinya sebagai koperasi, beruntungnya ia tak cepat tergiur karena proses yang mudah dan cepat. Sebab, banyak sekali warga di sekitarnya yang menggunakan jasa koperasi ilegal tersebut karena prosesnya yang mudah dengan iming-iming bunga rendah, namun nyatanya itu sangat menjerat.

“Dulu banyak tawaran kan dari koperasi (ilegal), untungnya gak saya ambil karena tahu dari orang sekitar kalau ternyata itu bukan koperasi resmi. Kalau saya sih mending ambil KUR itu daripada minjam di bank rontok itu, jadi gak perlu pakai bunga”, kata Nurhayati lagi.

Pasang surut saat berjualan juga kerap ia rasakan, terlebih saat harga sayuran naik akibt musim hujan dan di saat harga kebutuhan serba naik seperti sekarang. Terlebih, keuangan yang sulit membuat pasar surut dari pembeli. Terlebih kemarin kita dilanda kemarai panjang, sehingga harga sayuran juga sempat naik beberapa waktu terakhir dan sekarang kebalikannya hujan yang terus menerus membuat sayur sulit untuk tumbuh.

Misalnya untuk harga terung yang sebelumnya Rp3000 per kilonya saat ini naik menjadi Rp5000-6000 per kilo begitu juga dengan harga buncis saat ini sudah menginjak di angka Rp20.000 per kilo yang sebelumnya berkisar di harga Rp12.000. Begitu juga dengan harga cabai rawit yang melambung tinggi pasca kemarau kemarin dengan harga mencapai Rp40.000-Rp50.000 per kilogram. Diakui Nurhayati, kenaikan harga tersebut membuat minat pembeli menjadi surut sehingga mereka lebih memilih berbelanja sedikit sesuai dengan kebutuhan.

“Gak cuma harga daging dan telur yang naik, akibat kemarau kemarin kan harga sayuran juga naik. Sekarang musim hujan juga membuat sayuran sulit tumbuh karena lembab banyak yang mati. Apalagi sekarang uang sulit, jadi pembeli itu belanja lebih sedikit dari biasanya”, ungkap Nurhayati.

Begitu juga dengan ketahanan sayuran yang tidak lama seperti bahan lainnya membuat para pedagang sayuran kewalahan. Paling lama sayur itu disimpan seminggu, itupun harus disimpan di tempat yang lembab dan bersih, kalau tidak sayuran akan mudah layu dan busuk. Berbeda dengan tomat dan sayuran berair lainnya yang penyimpanannya relatif lebih rendah dibanding sayuran lainnya.

Kualita sayuran akan sangat menentukan harga, sehingga sayuran yang sudah tersimpan lama akan memiliki harga jual yang lebih rendah dibading dengan sayuran yang masih segar dan baru dipetik. Baik Nurhayati dan pedagang lainnya akan melakukan hal yang sama, jika jualan tidak laku maka akan dilelang dengan harga rendah. Bahkan Nurhayati sendiri mengaku kalau ada sayuran yang tidak laku dijual akan dibagikan kepada kerabat dan tetangganya.

“Sayuran itu kan tidak bisa disimpan lama-lama, mudah layu dan busuk. Jadi, mau tidak mau sayuran yang disimpan berhari-hari kita jual dengan harga murah sekali dan kalau tidak laku biasa saya bagikan ke tetangga di sekitar rumah saya”, tambahnya lagi. Pasang surut tersebut adalah hal biasa yang biasa bagi Nurhayati, sebagai pedagang, laku dan tidak laku, untung dan rugi, gagal dan berhasil adalah makanan sehari-sehari sehingga tidak ada hal yang perlu ia khawatirkan. Sebagaimana matahari yang tetap terbit setiap harinya, maka harapan itu juga tentu selalu ada. Meskipun saat ini harga-harga kebutuhan serba naik, pasti nanti ada masanya semua akan kembali normal.

Terakhir, Nurhayati menyampaikan harapannya sebagai pedagang kecil yang berjualan di sebuah pasar tradisional agar pemerintah bisa memerhatikan kesejahteraan bagi pedagang sepertinya. Ian berharap agar pemerintah mampu mensubsidi pekerja di bidang usaha mikro agar harga beli atau sewa kios dan lapak di pasar bisa lebih terjangkau. Pemerintah harus bisa memikirkan nasib pedagang di pasar tradisional bukan hanya retail, terlebih pertumbuhan sektor retail saat ini begitu pesat sehingga memengaruhi pendapatan pedagang pasar tradisional.

“Kalau bisa pemerintah bisa ngasi harga sewa lapak dan kios itu dengan harga yang lebih murah, kita ini kan pedagang kecil, jadi pemerintah jangan cari keuntungan dari kita”, ungkap Nurhayati sesaat sebelum ia turun dari kendaraan.