Herman Rakha*
www.lumbunginovasi.com – Pada 27 November 2024 mendatang terdapat 545 daerah kabupaten/kota di Indonesia akan menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak, Kabupaten Lombok Timur (Lotim) termasuk salah satunya. Hal ini tercantum dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 2 Tahun 2024 (Rustan, 2024).
Geliat pilkada Lombok Timur 2024 telah mulai terlihat pasca berakhirnya Pemilihan Umum (Pemilu) pada 14 Februari 2024 yang lalu. Baliho atau banner dengan berbagai ukuran dan flyer tersebar di platform media sosial telah bermunculan yang menandakan antusias para pendukung serta bakal calon bupati/wakil bupati Lombok Timur telah mewarnai keseharian masyarakat Lombok Timur.
Pada setiap pelaksanaan pilkada, tentunya banyak alasan dan motivasi yang melatarbelakangi seseorang untuk ikut berkompetisi dalam ajang kontestasi politik di daerah. Motivasi dan idealisme untuk berperan langsung dalam pembangunan daerah dan memberikan pengabdian kepada masyarakat, menjadi seorang kepala daerah sudah pastinya akan memberikan kesempatan memiliki pengaruh dan kekuasaan dalam mengambil keputusan dan mempengaruhi kebijakan di daerah.
Selain itu, menjadi seorang kepala daerah juga secara langsung berdampak pada status dan prestise di masyarakat karena jabatan kepala daerah dianggap prestisius dan menjadi simbol dari keberhasilan karier seseorang, terutama dalam bidang politik. Menjadi kepala daerah secara otomatis juga memperluas jejaring, membangun jejak politik dan basis dukungan yang lebih luas di daerah.
Antusias dan motivasi tersebut akan terwujud apabila dilakukan dengan strategi dan tim sukses yang tepat. Tidak heran apabila dalam setiap pelaksanaan pilkada berbagai macam upaya dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut, salah satunya adalah memobilisasi dukungan dari berbagai pihak yang dirasa dapat memberikan efek elektabilitas tinggi bagi kemenangan calon kepala daerah.
Mobilisasi dukungan yang dilakukan oleh para calon kepala daerah beserta tim suksesnya tidak hanya menyasar masyarakat pemilih saja namun, banyak yang melibatkan aparatur pemerintah yang seharusnya bersikap netral dalam bidang politik. Dan memang dalam setiap pelaksanaan pilkada isu tentang netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN), baik PNS maupun PPPK menjadi isu yang selalu mengemuka.
Isu mengenai netralitas ASN selalu ada karena tidak ada alat ukur yang pas terkait dengan tingkat profesionalitas ASN atau netraltas ASN dalam pemilu, meskipun reformasi birokrasi telah lama disuarakan dan dilaksanakan agar menjadi suatu budaya baru dalam upaya meningkatkan profesionalitas.
Regulasi Tentang Netralitas ASN
Netralitas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah keadaan dan sikap netral, dalam arti tidak memihak, atau bebas. Sofian Effendi (2018) menjelaskan bahwa makna netralitas mengacu pada impartiality yang artinya itu adil, obyektif, tidak bias dan tidak berpihak pada siapapun, tidak hanya dalam politik, tapi juga dalam pelayanan publik, pembuatan kebijakan atau keputusan, dan dalam manajemen ASN dalam arti menerapkan sistem merit. Rothstein dan Teorell (2008) mendefinisikan impartiality sebagai penerapan undang-undang tanpa mempertimbangkan hubungan khusus, referensi pribadi, dan hal-hal lain di luar hukum.
Netralitas birokrasi dalam politik dan keberpihakan birokrasi telah lama menjadi perdebatan para pakar. Pandangan birokrasi harus netral dari pengaruh politik antara lain dipelopori oleh W. Wilson dan Hegel, sedangkan yang sebaliknya dipelopori oleh Karl Marx, James Svara dan Goerge Edward II. Rothstein dan Teorell (2008) mendefinisikan impartiality sebagai penerapan undang-undang tanpa mempertimbangkan hubungan khusus, referensi pribadi, dan hal-hal lain di luar hukum. Rothstein dan Teorell (2008) mengungkapkan bahwa impartiality adalah nilai utama yang harus diyakini dan diimplementasikan oleh hakim, public servant (aparatur sipil Negara), politisi, dan pekerja lain yang dibayar dari uang negara.
Begitu pentingnya isu netralitas ASN dalam pemilu ini maka telah dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara dimana, di dalam Pasal 2 huruf (f) dijelaskan setiap pegawai ASN TIDAK BOLEH berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak pada kepentingan lain di luar kepentingan bangsa dan negara.
Selain itu regulasi pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2004 Pasal 11 (c) mempertegas tentang pembinaan jiwa korps dan kode etik ASN, yaitu etika diri sendiri untuk menghindari konflik kepentingan pribadi, kelompok maupun golongan.
Artinya kalau boleh ditarik dalam konteks Pilkada 2024 mendatang, aturan tersebut sangat jelas melarang setiap ASN untuk memberikan dukungan kepada setiap calon bupati/wakil bupati Lombok Timur mendatang, baik secara aktif maupun secara pasif. Terkait dengan hal tersebut telah dipertegas kembali dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Kementerian Dalam Negeri, BKN, KASN, dan Bawaslu melalui SKB No. 2 Tahun 2022 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Netralitas Pegawai ASN. SKB ini tentu juga berlaku bagi Pejabat Pembinan Kepegawaian (PPK), Plt, Pj, Pjs, dan pejabat berwenang (PYB) untuk melakukan pembinaan dan pangawasan.
Netralitas Itu Penting
Bagi penulis, menjaga netralitas itu sangat penting untuk terutama terkait dengan konteks partisipasi dan dukungan politik menuju Pilkada 2024 mendatang. Seorang ASN yang memiliki posisi strategis secara tidak langsung dapat mempengaruhi dan menggiring pilihan masyarakat atau bahkan karena posisinya tersebut dapat mengintimidasi agar mendukung calon tertentu. Mobilisasi ASN yang merupakan bagian dari birokrasi pemerintahan seringkali tidak terhindarkan karena adanya janji atau hadiah mendapatkan jabatan atau pangkat yang lebih tinggi dari posisinya saat ini.
Isu netralitas ASN akan selalu muncul karena seringkali kita dapat membedakan mana yang dimaksud dengan jabatan publik dan mana jabatan politik. Konsep jabatan publik telah tercermin dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang tegas mendifinisikan pejabat publik. Dimana dalam regulasi kebijakan tersebut menyatakan bahwa pejabat publik sebagai individu yang ditunjuk dan diberi tanggung jawab untuk menduduki posisi atau jabatan tertentu di lembaga publik. Sedangkan untuk jabatan politik telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Dalam peraturan tersebut, jabatan politik didefinisikan sebagai posisi yang diisi oleh individu melalui proses-proses elektoral, seperti Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, Ketua dan Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, Gubernur/Wakil Gubernur, Wali Kota dan Wakil Wali Kota, dan sebagainya.
Meskipun sudah tergambar sangat jelas namun, dalam praktiknya, seringkali individu yang menduduki jabatan publik berupaya untuk menjaga hubungan dekat dengan individu yang menempati jabatan politik dengan harapan untuk mengamankan kepentingan mereka sendiri.
Untuk itu, keberadaan ASN yang netral dalam pilkada 2024 mendatang sangat penting untuk memastikan bahwa setiap calon mendapatkan perlakuan yang sama. Netralitas ini juga bertujuan untuk mencegah campur tangan yang tidak adil, serta menjaga agar seluruh peserta pilkada memiliki akses yang setara. Seorang ASN harus netral karena statusnya sebagai pegawai pemerintah yang sangat mengikat. Artinya, ASN diangkat agar menjalankan tanggung jawabnya kepada publik, bukan untuk kepentingan suatu golongan atau parpol tertentu.
*Penulis merupakan pemerhati pembangunan dan peneliti pada Lombok Research Center
MENJAGA NETRALITAS ASN DALAM PILKADA
