Lombok Timur, NTB (29/02/2024) – Lombok Research Center (LRC) sebagai mitra Yayasan BaKTI dan Program INKLUSI terus memberikan penguatan dan peningkatan SDM untuk Kelompok Konstituen (KK) terkait pendampingan kasus kekerasan dan perlindungan sosial khususnya bagi masyarakat rentan. Tentunya, keberadaan KK tidak hanya untuk memberikan pendampingan, namun juga untuk meningkatkan partisipasi masyarakat agar lebih aktif dalam pembangunan.
Masih dalam rangkaian kegiatan “Pertemuan Penguatan Kelompok Konstituen Untuk Penerimaan Pengaduan, Penyediaan Layanan Komunitas, Advokasi Kebijakan dan Partisipasi Politik Tingkat Desa di Kabupaten Lombok Timur”. Kegiatan ini berlangsung di Desa Banjar Sari pada Kamis, 29 Februari 2024. Selain Kepala Desa Banjar Sari yang berkesempatan hadir secara langsung, peserta juga berasal dari perwakilan BPD, LPM, Kawil, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Karang Taruna dan Pengurus KK Desa Banjarsari.
“Penguatan dan peningkatan kapasitas untuk KK dalam pelayanan kekerasan dan perlindungan sosial, karena kekerasan di dalam masyarakat itu bentuknya beragam, sehingga kita harus bisa menyamakan persepsi, dengan adanya persamaan persepsi dalam mencegah kekerasan maka akan lebih mudah menemukan solusinya”, kata Suherman selaku Direktur LRC dalam sambutannya.
Kegiatan ini dibuka langsung oleh Kepala Desa Banjar Sari, Asmiluddin. Dalam sambutannya beliau menyampaikan apreasiasi kepada Program INKLUSI, Yayasan BaKTI dan LRC yang memilih Desa Banjar Sari menjadi bagian dari Program INKLUSI sehingga mendapatkan manfaat dari implementasinya. Beliau juga beraharap agar pelayanan kasus kekerasan dan perlindungan sosial bisa dimasifkan, khususnya terhadap kelompok rentan.
“Terima kasih sebesar-besarnya kami ucapkan kepada INKLUSI dan LRC yang telah melaksanakan programnya di daerah kami, tentunya keberadaan KK dan programnya akan memberikan banyak manfaat bagi pemerintah dan masyarakat”, kata Asmiluddin.
Menurut data statistik Desa Banjarsari, dari total 5.657 jumlah penduduk, sebanyak 2.806 penduduk laki-laki dan 2.851 penduduk perempuan. Dengan jumlah perempuan yang lebih banyak artinya potensi terjadinya kekerasan terhadap perempuan juga akan lebih besar. Begitu juga dengan jumlah lansia (di atas 60 tahun) sebanyak 591 jiwa atau 10,45% dari jumah penduduk. Ini mengindikasikan bahwa terdapat jumlah kelompok rentan yang membutuhkan pelayanan kesejahteraan sosial yang preventif, kuratif dan rehabilitatif.
Berbicara tentang kasus kekerasan, hal ini sebenarnya telah menjadi atensi pemerintah dan lembaga lainnya untuk terus mengupaykan pencegahan dan perlindungan kepada masyarakat. Terlebih, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Lombok Timur jumlahnya cukup tinggi, meskipun di tahun 2023 ini trendnya menurun namun bukan berarti kasus kekerasan juga menurun.
Sebagaimana disampaikan oleh Ibu Fathiyah selaku Kabid PP DP3AKB yang bertugas sebagai narasumber, data trend kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak cenderung menurun selama lima tahun terakhir. DP3AKB Lombok Timur mencatat kasus kekerasan terhadap anak sebanyak 121 kasus (2019), 115 kasus (2020), 101 kasus (2021), 187 kasus (2022) dan 162 kasus (2023). Sementara itu, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan sejumlah 117 kasus (2019), 102 kasus (2020), 111 kasus (2021), 40 kasus (2022) dan 41 kasus (2023).
“Ini kan trendnya yang turun atau yang terlapor, jadi kami berharap kasusnya juga menurun karena yang sering terjadi masyarakat sering kali membiarkan kasus kekerasan. Selain masalah angka (data) adalah bagaimana kepedulian masyarakat itu sendiri untuk melaporkan kasus kekerasan yang terjadi, ini yang harus kita upayakan agar masyarakat berani berbicara”, kata Kabid PP DP3AKB Lombok Timur, Ibu Fathiyah.
Sementara itu, dari Dinas Sosial Lombok Timur, LRC mengundang Lalu Muhammad Isnaeni (Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial) yang berbicara tentang rehabilitasi sosial bagi korban kekerasan. Pada Dinas Sosial sendiri terdapat layanan untuk beberapa kluster yang mencakup kelompok rentan seperti anak, lansia, disabilitas, tuna sosial, korban perdagangan orang serta eks pengguna narkoba dan zat adiktif lainnya. Untuk rehabilitasi sosial terbagi menjadi dua, pertama bersifat dasar dan kedua bersifat lanjutan. Kata Mamiq Is (sapaan akrabnya), ini perlu diperhatikan agar sebelum dilakukan intervensi lanjutan kepada korban/klien, kita terlebih dahulu harus memenuhi kebutuhan dasarnya.
”Jadi, sebelum melakukan intervensi kepada korban kekerasan, yang harus kita perhatikan terlebih dahulu adalah memenuhi kebutuhan dasarnya, apakah sudah memiliki adminduk, makan minumnya terpenuhi, kesehatan dan keamanan tempat tinggalnya. Kalau sudah terpenuhi semuanya, baru setelah itu intervensi lanjutan bisa dilakukan”, kata Lalu Isnaeni.
(Penulis: Bq. Diat*)