Lotim Darurat Kekerasan Perempuan, BEM UGR Gandeng LRC Adakan Talk Show

Kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Lombok Timur (Lotim) beberapa tahun terakhir begitu memerihatinkan, pasalnya kasus kekeraan seksual terjadi di lingkungan pendidikan bahkan pondok pesantren. Tempat seharusnya anak-anak mendapatkan perlindungan dan hak-haknya kini terdengar menyeramkan. Apalagi setelah terjadi kasus kekerasan seksual oleh pimpinan salah satu pondok pesantren di Lombok Timur pada tahun 2023 lalu.
Menjawab tantangan ini Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Gunung Rinjani (UGR), Lombok Timur menggelar Talk Show BEM UGR dengan tema “Lotim Darurat “Kekerasan Seksual”. Kegiatan ini berlangsung di Auditorium Lantai 3 UGR, pada Sabtu, 27 Januari 2024. BEM UGR mengundang sejumlah narasumber di antaranya Kapolda NTB, Kabid PP DP3AP2KB NTB, politisi Hj. Ermalena, NGO Lombok Research Center (LRC) dan HBK Peduli.
Ketua Panitia Siti Khaerunisa Febrianti dalam laporannya menyebutkan sebanyak 353 kasus kekerasan seksual terjadi di NTB Kabupaten Lotim menempati rutan kedua setelah Dompu. Mirisnya, kekerasan seksual terjadi di lingkungan pendidikan bahkan pondok pesantren. Sehingga butuh komitmen yang kuat antara semua pihak untuk mencegah segala bentuk kekerasan, ungkapnya.
Basri Mulyani SH, MH selaku Rektor UGR dalam sambutannya menyampaikan hal menarik. Karena maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi, Kemendikbud menerbitkan regulasi pada tahun 2021, dalam regulasi tersebut setiap kampus harus membentuk Satgas atau Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK).
“Spirit UGR meminimalisir kekersan seksual dengan membentuk satgas tersebut, apalagi ini sudah diperkuat Negara UU 12 tahun 2022”, seraya menambahkan “Kekerasan seksual tidak hanya berbentuk fisik tetapi juga verbal, dan ini juga dikenakan sanksi”, ungkap Basri Mulyani.
Pj Sekda Lotim, H. Hasni, yang hadir mewakili Pj Bupati menilai fenomena kekerasan seksual tidak lepas dari faktor teknologi yang disalahgunakan. Menurutnya, pemerintah telah menerbitkan berbagai regulasi dari tingkat kabupaten hingga desa untuk menekan kasus tersebut.
Hj. Ermalena selaku tokoh perempuan dan politisi perempuan menanggapi terkait tingginya kasus kekerasan yang terjadi di perguruan tinggi. Ia menyampaikan, Komnas Perempuan dalam satu tahun mencatat 25 ribu kasus terjadi di dalam satu institusi. Hal ini diibaratkan seperti fenomana gunung es yang kita tidak pernah tahu akarnya sebesar apa.
“Jadi bayangkan kalau banyak institusi yang melaporkan kekerasan mungkin jumlahnya sekarang ada jutaan, regulasinya sudah ada, tinggal bagaimana sekarang kita menyaman persepsi kita dan komitmen dalam implementasinya”, kata Hj. Ermalena.
Sementara itu, Lalu Farouq Wardana dari NGO Lombok Research Center (LRC) lebih banyak bercerita tentang pengalaman LRC dalam menangani sejumlah kekerasan melalui Kelompok Konstituen dampingan LRC dalam membantu penanganan, pendampingan dan akses layanan. Kolaborasi LRC dengan pemerintah Lotim dalam setahun terahir juga berhasil melahirkan Perda Tentag Penhormatan, Perlindungan dan Pemenuhan Hak Disabilitas, Perempuan dan Anak di Kabupaten Lombok Timur dan Penyusunan SOP Pelayanan UPTD PPA Lotim.
“Dari kolabrasi yang LRC lakukan dengan pemerintah dan lembaga lainnya, dari sana kami mencoba masuk mendorong secara masif perlindungan terhadap perempuaan termasuk pencegahan kekerasan seksual. Tahun 2023 ini, kolaborasi LRC dan DPRD menginisiasi Perda Inklusif dan sebelumnya juga sudah mengesahkan Penetapan SOP Pelayanan UPTD PPA. Ini tentunya akan semakin meningkatkan perlindungan terhadap korban kekerasan dan mekanisme pelayanan kekerasan akan lebih mudah dilakukan”, kata Lalu Farouq.

Penulis : Bq. Nurul Nahdiat (Staf komunikasi LRC)