Pemerintah Lombok Timur saat ini tengah mengusung pembangunan berkelanjutan. Pembangunan yang berkelanjutan tentunya tidak terlepas dari pemahaman tentang isu gender, disabilitas dan inklusi sosial. Sebab, pembangunan yang berkelanjutan tidak akan terwujud tanpa keadilan dan kesejahteraan yang merata. Oleh sebab itu, dibutuhkan prinsip kesetaraan gender dan inklusi sosial sebagai pondasi setiap program yang dilaksanakan pemerintah.
Untuk menjembatani pemerintah dan masyarakat di tingkat desa, Program INKLUSI, Yayasan BaKTI dan Lombok Research Center membentuk kelompok konstituen (KK) di 15 desa yang tersebar di kabupaten Lombok Timur. Kelompok konstituen yang terdiri dari pemerintah desa, tokoh masyarakat, tokoh perempuan dan pemuda akan menjalankan fungsi sebagai penyambung lidah antara masyarakat dengan pemerintah, lembaga, dan stakeholder lainnya. Dengan tujuan agar semua masyarakat aktif di dalam pembangunan dan merasakan manfaatnya.
Untuk menunjang kinerja dampingannya, LRC terus memberikan penguatan, pelatihan maupun sosialisasi, seperti hari ini pada Rabu, 20 Maret 2024, LRC menggelar penguatan kelompok konstituen di Desa Gelora, Kecamatan Sikur, Lombok Timur. Penguatan ini lebih spesifik mengenai pencegahan kasus kekerasan, peningkatan layanan terhadap korban kasus kekerasan dan kasus perlindungan sosial serta peningkatan partisipasi politik di tingkat desa. Selain kepala desa, hadir juga dalam kegiatan ini pemerintah desa, BPD, Babhinkamtibmas, Polmas, kawil, tokoh masyarakat, PKK, anggota KK, kader dan pemuda setempat.
Kekerasan menjadi masalah yang tengah menjadi atensi pemerintah, di Lombok Timur sendiri kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak mengalami fluktuasi. Menurut laporan DP3AKB Lombok Timur, kasus KDRT dan kasus kekerasan anak yang diakibatkan perkawinan anak masih yang tertinggi. LRC kemudian menggandeng Dinas Sosial dan Dinas P3AKB sebagai narasumber yang khusus berbicara tentang pencegahan kasus kekerasan dan rehabilitasi sosial bagi korban kekerasan dan kasus perlindungan sosial.
Dibuka langsung oleh Kepala Desa Gelora, Abdillah, S. Adm, dalam sambutannya ia menyampaikan agar kelompok konstituen sebagai mitra pemerintah desa berjalan beriringan dalam mencegah kasus kekerasan dan bersama-sama mencari solusi dari permasalahan yang terjadi. Dengan terbentuknya kelompok konstituen akan menjadi tali penghubung sehingga tidak ada lagi jarak antara masyarakat dan pemerintah.
“Untuk mencapai pembangunan yang merata maka semua unsur masyarakat tidak boleh berjalan sendiri-sendiri, kita harus bisa bekerjasama untuk memastikan kesejahteraan masyarakat baik dari sisi ekonomi, sosial, budaya, pendidikan dan lain-lain“, kata Abdillah.
Di tempat yang sama, Direktur LRC, Suherman menyebutkan salah satu tantangan pembangunan di daerah adalah permasalahan sosial, tak terkecuali di Lombok Timur. Permasalahan sosial di antaranya yakni kasus kekerasan, perlindungan sosial yang belum terdistribusi merata dan pemerintah yang tidak responsif dan masyarakat yang tidak aktif dalam pembangunan. Ia melanjutkan, upaya yang dilakukan pemerintah tanpa ada dukungan dari masyarakat tidak akan mampu berjalan dengan efektif. Sebab pembangunan yang baik dihasilkan dari pemerintah dan masyarakat yang saling mendukung.
‘Dari sinilah LRC sebagai pelaksana program INKLUSI memberikan penguatan untuk masyarakat melalui pembentukan kelompok konstituen yang sudah ada sejak 2022. Di dalamnya terdapat layanan berbasis komunitas sebagai penerimaan pengaduan masyarakat untuk kasus kekerasan dan kasus perlindungan sosial lainnya“, kata Suherman.
Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan DP3AKB Kab. Lombok Timur, Ibu Fathiyah, S.ST dalam materinya menerangkan bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak banyak disebabkan oleh budaya patriarki, kemiskinan, ketergantungan terhadap pornografi, narkoba, depresi dan kelainan jiwa. Ia melanjutkan kelompok masyarakat rentan, seperti perempuan, anak dan disabilitas lebih berpotensi menjadi korban. Dari 32 laporan kekerasan ada sebanyak 7 orang disabilitas yang menjadi korban, sisanya adalah kasus KDRT sebanyak 25 orang. (Sumber: DP3AP2KB NTB, 2022).
“Ini alasan mengapa ada banyak regulasi tentang perlindungan perempuan, anak dan disabilitas karena mereka yang paling berpotensi menjadi korban kekerasan. Sekarang, tugas kita sebagai orang yang paham untuk menyebarkan informasi mengenai regulasi itu dan melakukan pelaporan“, kata Ibu Fathiyah.
Materi selanjutnya disampaikan oleh Lalu Muhammad Isnaeni (Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial Kab. Lombok Timur) yang khusus berbicara tentang rehabilitasi sosial terhadap korban kasus kekerasan eksploitasi, seksual dan anak. Mamiq Is sapaan akrabnya juga menekankan pada kasus perkawinan anak yang masih marak terjadi akibat tidak adanya upaya pencegahan yang dilakukan oleh masyarakat. Untuk itu, perlu dilakukan pendampingan, rehabiltasi dan reintergrasi sosial bagi korban perkawinan anak. Di sisi pencegahan, diperlukan sosialisasi terus menerus untuk memahamkan masyarakat bahwa perkawinan anak merupakan tindak pidana kekerasan terhadap anak yang diatur di dalam UU Nomor 12 Tahun 2022.
“Karena ada perubahan dari UU No.1 Tahun 1974 menjadi UU No. 16 Tahun 2019 bahwa semula batas usia menikah 16 tahun sekarang menjadi 19 tahun. Kemungkinan praktik perkawinan anak masih banyak terjadi di masayarakat. Sehingga, ini menjadi tugas kita selaku kelompok konsituen, sebagai pemerintah desa, sebagai tokoh masyarakat bagaimana agar setiap kasus perkawinan anak ini dilaporkan, sehingga kita akan bantu intervensi atau rehabilitasinya”, terang Mamiq Is.
Sebagus apapun regulasi, sebanyak apapun aturan yang dilahirkan namun jika dalam pelaksanaannya tidak ada komitmen yang kuat dari pemerintah dan masyarakat dalam menjalankannya maka itu hanya akan menjadi teks mati. Dan pembangunan yang baik hanya akan tercipta dari pemerintah yang responsif dan masyarakat yang aktif, serta saling mendukung satu sama lain.
BQ. Diat*