Lombok Timur, 19 Agustus 2024 – Lombok Research Center (LRC) kembali melaksanakan Sosialisasi Pencegahan Perkawinan Anak dan Perundungan (Bullying) untuk Siswa MTS NW Benteng, Desa Lendang Nangka Utara, Kecamatan Masbagik, Lombok Timur atas kerjasama dengan pemerintah desa Lendang Nangka Utara dan MTS NW Benteng. Kegiatan ini dihadiri oleh Pemerintah Desa Lendang Nangka Utara, Kepala Sekolah, guru, Tim LRC, dan sebanyak 300 siswa, pada Senin, 19 Agustus 2024.
Kegiatan ini bertujuan agar peserta didik memahami dampak perkawinan anak dan perundungan serta hal-hal yang dapat menyebabkannya, sehingga para siswa dapat menghindari segala bentuk kekerasan di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah. Kegiatan ini juga bertujuan untuk meningkatkan komitmen sekolah dalam mewujudkan lingkungan sekolah yang aman dan bebas kekerasan.
Kepala Desa Lendang Nangka Utara, Muhammad Tahir saat membuka kegiatan sosialisasi mengucapkan terima kasih kepada Tim LRC yang sudah berkenan melakukan sosialiasi. Mengingat angka kekerasan terhadap anak dan masalah perkawinan anak masih sering terjadi. Untuk itu, ia mengimbau agar sekolah tetap melakukan koordinasi dengan LSM dan lembaga pemerintahan dalam penyelesaikan permasalahan di lingkungan pendidikan.
“Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada LRC yang sudah turun ke dusun kami melakukan sosialisasi pencegahan kekerasan dan perkawinan anak. Semoga ini semakin meningkatkan koordinasi kita, baik pemerintah desa, sekolah, lembaga masyarakat dan dinas terkait”, kata Muhammad Tahir.
Menurut laporan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuandan Anak (UPTD PPA) Lombok Timur, Lombok Timur menjadi kabupaten dengan kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan tertinggi di NTB sebanyak 203 kasus. Kasus kekerasan anak sebanyak 162 kasus, yang didominasi oleh kasus perkawinan anak. Sementara kasus kekerasan terhadap perempuan sebanyak 41 kasus yang didominasi KDRT.
Manajer Program LRC, Baiq Titis Yulianty yang bertugas sebagai narasumber menyampaikan bahwa pemerintah telah menerbitkan UU NO. 16 Tahun 2019 yang mengatur tentang usia perkawinan 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan. Untuk itu, ia mengimbau kepada para siswa untuk menghindari hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya perkawinan anak dan memprioritaskan pendidikan.
“Mengapa kita sangat gencar melakukan pencegahan perkawinan anak, karena dampak kerugian yang diakibatkan sangat banyak, anak terenggut haknya, tidak dapat melajutkan pendidikan, berpotensi melahirkan keluarga miskin dan meningkatkan risiko kesehatan”, kata Baiq Titis.
Baiq Titis melanjutkan, salah satu jenis kekerasan yang sering terjadi di lingkungan pendidikan yakni perundungan (Bullying). Penggunaan media sosial di kalangan remaja juga berpotensi menyebabkan cyber bullying melalui internet dan media sosial. Sehingga, para siswa diminta lebih bijaksana dalam menggunakan media sosial. Baik pihak sekolah dan orangtua juga diimbau agar semakin meningkatkan pengawasan terhadap anak-anak.
“Jadi kami harapkan semua pihak, pemerintah desa, guru, orangtua, masyarakat dan siswa bisa bekerjasama dan dilibatkan dalam mewujudkan lingkungan sekolah yang ramah anak dan bebas kekerasan”, kata ungkap Baiq Titis.