Lombok Timur, 01/11/2024 – Menurut data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), tercatat sebanyak 29.883 kasus kekerasan di Indonesia yang terjadi sepanjang tahun 2023. Jenis kekerasan yang mendominasi berupa kekerasan seksual sebanyak 13.156 kasus dan data yang terkumpul hingga April 2024, terdapat 2.6861 kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia masih darurat kasus kekerasan seksual, bahkan lingkungan pendidikan tidak menjamin tempat tersebut bersih dan aman dari kekerasan.
Sebagai bentuk komitmen dan dukungan terhadap civitas akademik dalam mencegah kasus kekerasan dan menciptakan lingkungan kampus yang aman, Program INKLUSI, Yayasan BaKTI dan Lombok Research Center (LRC) memberikan Penguatan dan Pendampingan Satgas PPKS (Penanganan dan Pecegahan Kekerasan Seksual) Perguruan Tinggi Universitas Gunung Rinjani. Kegiatan ini bertujuan menigkatkan kapasitas tim Satgas terkait isu kekerasan dan mekanisme penanganan kasus serta terbitnya SOP dan buku pedoman Tim Satgas UGR.
Hal tersebut disampaikan oleh Direktur LRC, Suherman saat membuka kegiatan tersebut di Aula Sekar Asri, Selong, Lombok Timur pada Kamis, 31 Oktober 2024. Menurut dia, keberadaan Satgas PPKS di perguruan tinggi sangat penting karena permasalahan kekerasan yang terjadi di perguruan tinggi bersifat kompleks. Adanya relasi kuasi, sifat eksklusif dan otoritas kampus untuk menyembunyikan pelaku demi menjaga nama baik sering kali dijadikan sebagai senjata.
“Satgas PPKS di perguruan tinggi diharapkan mampu menjadi garda terdepan untuk melawan segala bentuk kekerasan yang terjadi”, ungkap Suherman.
Dibuka oleh Rektor dan Pengarah Satgas PPKS UGR, Basri Mulyani, ia mengapresiasi kerjasama LRC dan kampus UGR yang telah berhasil membentuk Satgas PPKS UGR. Terbentuknya Satgas PPKS UGR merupakan pencapaian luar biasa karena sudah mampu menjalankan fungsinya dengan baik, salah satunya memberikan sosialisasi pencegahan kekerasan untuk mahasiswa baru dan mahasiswa KKN.
“Kita bahkan sudah beberapa langkah lebih maju dari kampus-kampus lain di NTB, selain sudah bisa menjalankan fungsi Satgas PPKS dengan baik, selanjutnya kita akan menerbitkan SOP dan buku panduan, ini adalah capaian yang luar biasa”, kata Basri.
Di tempat yang sama, Rini Endang Prasetyowati selaku Ketua Satgas PPKS UGR berharap agar SOP dan buku panduan Satgas PPKS dapat segera diterbitkan karena untuk menjalankan fungsinnya Satgas PPKS harus bergerak sesuai dengan pedoman dan bersifat konteksual. Hal ini mengingat SOP di perguruan tinggi negeri dan swasta berbeda.
“Tentunya SOP kampus negeri dan swasta itu berbeda, kami di swasta memiliki yayasan yang dinaungi, sehingga ini juga perlu kita perdalam sejauh mana ruang gerak Satgas PPKS itu sendiri kalau kita sesuaikan dengan konteks kampus swasta”, kata Rini Endang.
Pencegahan kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan sosial maupun lingkungan pendidikan tidak bisa dibebankan pada satu lembaga atau organisasi saja. Ini merupakan kewajiban kita semua, sehingga perlu adanya kolaborasi dari pemerintah, lembaga pendidikan, komunitas masyarakat, organisasi keagamaan, dan pihak lainnya. Begitu juga dengan Satgas PPKS mereka tidak bergerak sendiri dan dapat berkolaborasi dengan pihak lain dalam menjalankan tugasnya.
“Mencegah kekerasan memang bukan hal yang mudah, tetapi tenang saja karena teman-teman Satgas PPKS tidak bekerja sendiri. Kita bisa berjejaring dengan Dinas P3AKB, UPTD PPA, kepolisian, rumah sakit dan NGO. Hadirnya Program INKLUSI dan LRC untuk mendampingi Tim Satgas menunjukkan kita sudah membangun kolaborasi tersebut”, kata Baiq Titis Yulianty selaku Kepala Program INKLUSI-LRC sebelum menutup kegiatan.