Langkah Maju Menuju Lombok Timur Bebas Kekerasan: Sosialisasi dan Penguatan Kelompok Konstituen

Lahirnya beragam regulasi di tingkat provinsi maupun kabupaten tentang perlindungan perempuan dan anak nampaknya belum mampu menekan angka kekerasan di NTB. Pasalnya, angka kekerasan di NTB selama dua tahun terakhir masih terbilang tinggi. Data Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi NTB menyebutkan angka kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak mencapi 1.022 kasus selama tahun 2022. Sementara di tahun 2023 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di NTB hingga Desember 2023 di angka 904 kasus (Lembaga Perlindungan Anak NTB, 2023).
 
Kendati trendnya kasusnya menurun dari tahun sebelumnya namun ini masih terbilang cukup tinggi. Dari jumlah tersebut, Lombok Timur menjadi kabupaten dengan kasus kekerasan tertinggi dari 10 kabupaten lainnya di NTB. Dengan laporan kekerasan terhadap perempuan dan anak sebanyak 227 kasus di tahun 2022 dan 203 kasus di tahun 2023 (Sumber: DP3AKB Lombok Timur).
 
Dalam rangka memaksimalkan pelaporan dan pelayanan bagi korban kasus kekerasan dan kasus perlindungan sosial, Lombok Research Center sebagai mitra Yayasan BaKTI dalam Program INKLUSI memberikan sosialisasi dan penguatan kepada kelompok konstituen (KK) yang sudah dibentuk di 15 desa dampingan di Lombok Timur. Kegiatan bertajuk Pertemuan Penguatan Kelompok Konstituen Untuk Penerimaan Pengaduan, Penyediaan Layanan Komunitas, Advokasi Kebijakan dan Partisipasi Politik Tingkat Desa di Kabupaten Lombok Timur terlaksana di Desa Sikur Selatan pada 18 Maret 2024.
 
Lalu Ade Gusnawan Putra, S.Tr.IP selaku Pejabat Kepala Desa Sikur Selatan menyambut baik kegiatan tersebut dan berharap kelompok konstituen di Desa Sikur Selatan semakin masif menggerakkan masyarakat dalam melaporkan kasus kekerasan dan kasus perlindungan sosial yang dialami. Menurutnya, kegiatan sosialisasi ini perlu ada keberlanjutan agar kasus-kasus di dalam masyarakat tetap terupdate.
 
“Kegiatan sosialisasi seperti ini tetap perlu dilakukan untuk membuka diskusi antara pemerintah dan masyarakat agar kasus-kasus di dalam masyarakat lebih mudah terdistribusi”, kata Lalu Ade dalam sambutannya.
 
Direktur LRC, Suherman yang berkesempatan hadir juga menyampaikan bahwa di dalam organisasi kelompok konstituen terdapat layanan berbasis komunitas (LBK) yang berfungsi untuk menerima pengaduan dan melakukan pendampingan terhadap korban kasus kekerasan maupun kasus perlindungan lainnya. Sehingga mekanisme pelaporan kasus dan permasalahan lainnya akan lebih mudah diakses, sehingga pelayanan menjadi lebih efisien.
 
‘’Di KK ada namanya layanan berbasis komunitas yang bisa digunakan masyarakat sebagai tempat pengaduan kasus begitu juga dari sisi pendampingan’’, kata Suherman.
 
Ibu Fathiyah, S.ST selaku Kabid Pemberdayaan Perempuan DP3AKB Lombok Timur yang menjadi narasumber dalam kegiatan menyinggung belum masifnya sosialisasi terkait kebijakan tentang perlindungan perempuan dan anak di desa-desa membuat kasus kekerasan kian tinggi. Artinya, banyak masyarakat yang belum tahu tentang aturan yang sudah diberlakukan, sehingga kasus kekerasan seperti perkawinan anak masih dilanggengkan, sebab masyarakat tidak tahu bahwa ada konsekuensi hukuman jika tetap melakukan hal tersebut.
 
‘’Setiap desa sudah punya perdes tentang pencegahan perkawinan anak, kita juga ada Perda No.5 Tentang Pencegahan Perkawinan Anak, tapi apakah semua masyarakat sudah tahu? Bayangkan saja, laporan di kami (DP3AKB) ada 69 kasus perkawinan anak di tahun 2023, tapi di Dinas Sosial data ibu hamil di bawah usia 19 itu jumlahnya mencapai 1.141 orang. Ini artinya, banyak perkawinan usia anak yang tidak tercatat‘’, kata Ibu Fathiyah.
 
Begitu juga dengan Lalu Muhammad Isnaeni selaku Kabid Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial Lombok Timur yang bertugas sebagai pemateri, meminta agar masyarakat tetap aktif dan melakukan pelaporan kasus. Sebab, pelayaan kasus, intervensi dan rehabilitasi terhadap korban kekerasan tidak bisa dilakukan tanpa ada yang melapor. Menurutnya, kasus kekerasan yang tinggi juga akibat dari sikap kita yang membiarkan bahkan menormalisasi kasus kekerasan.
 
‘’Untuk kasus kekerasan seksual tidak bisa diselesaikan melalui mediasi, kalau ini wajib ditangani oleh kepolisian karena diatur dalam UU TPKS. Berbeda dengan kasus lainnya yang bisa diselesaikan di luar pengadilan. Jadi, karena ini Undang-Undang, sifatnya delik aduan. Jadi, harus ada yang melapor terlebih dahulu baru kita bisa lakukan intervensi‘’, kata Mamiq Is sebelum menutup materinya.
 
Bagi masyarakat di wilayah kabupaten Lombok Timur yang mengetahui, mendengar, melihat atau mengalami adanya kekerasan dapat melaporkannya ke Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Lombok Timur atau menghubungi Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polres Lombok Timur.
 
Bq. Diat*