LRC Desak Legislatif dan Eksekutif Dirikan Rumah Aman di Lombok Timur

Lombok Timur, 25/12/2024 – Lombok Research Center lakukan Hearing dengan Komisi II DPRD Kabupaten Lombok Timur pada Selasa, 24 Desember 2024. Ini merupakan kali kedua LRC melakukan hearing sejak 2022 lalu dengan pembahasan yang sama terkait pemberdayaan perempuan dan anak serta penanganan kasus kekerasan di Lombok Timur. Rapat yang berlangsung di Kantor DPRD tersebut dihadiri oleh Wakil Ketua Komisi II DPRD beserta anggota, Kepala Dinas DP3AKB dan staff, Kepala UPTD PPA , Direktur LRC & Tim dan  NGO yang bergerak  di Lombok Timur
Saat ini LRC tengah konsen dengan isu pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak mengingat Kabupaten Lombok Timur menjadi penyumbang nomor satu kasus kekerasan di Nusa Tenggara Barat. Data yang dilansir dari SIMFONI Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dalam kurun lima tahun (2020-2024) tercatat 4.883 kasus kekerasan di NTB. Mirisnya, sebanyak 26% kasus kekerasan atau sebanyak 1.277 kasus terjadi di Lombok Timur. Masih dari data SIMFONI Kemen PPA, berikut hasil laporan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di Lombok Timur selama tiga tahun terakhir: 228 kasus (2022), 204 kasus (2023) dan 272 kasus (2024).
Wakil Ketua Komisi II DPRD Lombok Timur, Dr. H. Muhammad Djamaludin, BE., M.Kom membuka rapat tersebut memaparkan Lombok Timur sebenarnya sudah memiliki regulasi yang sangat kompleks terkait pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Mulai dari Instruksi Presides NO.2 Tahun 2000 tentang pelaksanaan Pengarusutamaan Gender, Perda NO. 5 Tahun 2023 Tentang Penghormaatan dan Perlindungan Disabilitas, Perempuan dan Anak, Perda NO.2 Tahun 2024 Tentang Perlindungan Anak. Sehingga, tingginya kasus kekerasan di Lombok Timur menjadi pertanyaan besar, sejauh mana komitmen pemerintah dan stakeholder dalam implementasi regulasi yang sudah ada?
“Yang harus dilakukan sekarang dari sisi pelaksanaan, pengawasan dan penganggaran untuk kegiatan yang membutuhkan kebjakan untuk diimpelementasikan secara teknis”, kata Muhammad Djamaludin.
Dr. Maharani selaku Pembina dan Penliti LRC menyoroti masih tingginya kasus kekerasan yang terjadi di Lombok Timur tidak pernah disertai dengan komitmen serius dari legislatif dan eksekutif. Dengan banyaknya laporan kasus yang masuk ke UPTD PPA, Kabupaten Lombok Timur bahkan hingga saat ini belum memiliki Ruman Aman. Maharani juga menyoroti kekurangan SDM dan porsi anggaran di UPTD PPA yang sangat kecil, kondisi ini jelas tidak akan memaksimalkan penanganan kasus kekerasan di 254 desa/kelurahan di Lombok Timur.
“Ada problem mendesak yang harus segera kita tangani, UPTD PPA ini cuma punya SDM 8 orang, dari sisi anggaran di tahun 2025 untuk pemberdayaan perempuan dan anak cuma dikasi 145 juta, dan ditambah kita tidak punya Rumah Aman. Padahal secara regulasi kita sudah sangat bagus, tapi dari sisi implementasi dan porsi anggaran kita tidak serius”, kata Maharani.
Dari pihak eksekutif, H. Ahmat A, S.Kep., MM selaku Kepala Dinas DP3AKB Lombok Timur menginginkan adanya kerjasama antara eksekukif dengan legilatif. Saat ini DP3AKB memiliki kelompok binaan Sekolah Perempuan yang tersebar di 21 kecamatan di Lombok Timur, di mana anggotanya berasal dari ex Pekerja Migran Indonesia (PMI). Ahmat melanjutkan, pembinaan kelompok tersebut bersifat berkelanjutan dan tentu membutuhkan anggaran yang berkelanjutan pula.
“Kami ingin kerjasama kami dengan legislatif tidak hanya dari sisi pembuatan regulasinya saja, tetapi juga dari sisi implementasi maupun penganggaran”, ungkap Ahmat siang itu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *