Potensi, Pasar, dan Cerita Perempuan Pengrajin Bambu di Lombok Timur

Lombok Timur — Bambu di Kecamatan Sikur, Kabupaten Lombok Timur tak hanya tumbuh di pekarangan, kebun dan tepi sungai. Ia juga hadir di bengkel kerja sederhana, di tangan-tangan terampil warga dan perempuan kepala keluarga yang mengubahnya menjadi beragam kerajinan. Dari Desa Tetebatu hingga Dusun Mentaum di Montong Baan, bambu menjadi simbol peluang ekonomi yang terhubung erat dengan kearifan lokal sekaligus tantangan pasar.

Azkan Saidi, petani muda dan pengerajin bambu di Tetebatu, percaya bahwa bambu bisa menjadi souvenir khas desa jika usaha warga mendapat dukungan serius.

“Kami sebenarnya punya keinginan, ada produk khas dari desa wisata ini, khususnya dengan mengolah produk kerajinan berbahan dasar bambu yang ada di sini,” ujarnya, Jumat 8 Agustus 2025 yang lalu.

Menurutnya, semakin banyak bangunan homestay di Tetebatu yang menggunakan bambu, sehingga peluang pengembangan kerajinan sebagai souvenir khas desa cukup besar. Potensi serupa disampaikan Khotibul Umam Zain, staf Lombok Research Center (LRC). Ia menilai desa-desa wisata di Kecamatan Sikur seperti yang ditemukannya di Tetebatu, memiliki sumber daya bambu yang melimpah.

Masyarakat di Tetebatu cukup terampil mengolah bambu menjadi beragam produk seperti gelas, asbak, tas dan produk lainnya. Namun, Umam mengakui belum ada sinergisitas yang jelas antara sektor pariwisata, pemerintah desa, dan masyarakat. “Bambu dimanfaatkan hanya sebatas dijual bahan mentahnya saja,” ujarnya.

Dia berharap perlunya dukungan pemerintah desa dengan menghubungkan sektor wisata dan produk lokal bambu tersebut dapat dilakukan melalui penguatan artshop-artshop di kawasan desa wisata seperti Tetebatu.

Cerita dari Desa ke Desa
Beberapa pengerajin di desa-desa lain telah mengembangkan produk bambu secara mandiri. Husnul Hayati, pengerajin dari Desa Gelora, memproduksi terai bambu dan menjadi suplier dari sejumlah produk pengerajin lain. Dengan bantuan mesin untuk membelah dan meraut bambu, Hayati mampu memenuhi permintaan, meskipun terkendala cuaca, akses bahan, dan strategi untuk menjangkau konsumen baru.

Di Dusun Mentaum, Desa Montong Baan, Siti Aminah bersama kelompok pengerajin perempuan lainnya memproduksi anyaman pagar bambu. Lokasi dusun yang jauh dari jalan raya membuat produk anyaman pagar bambu sedikit sulit dipasarkan secara langsung. Sejak 2019, ia kemudian mencari cara lain dengan memanfaatkan media sosial untuk memasarkan produk kerajinannya.

“Kalau masalah kualitas, produk pagar anyaman bambu pengerajin perempuan di Mentaum ini bisa diadu dengan yang ada di tempat lain,” katanya.

Ia mengaku menguasai empat motif anyaman, termasuk satu motif kreasi sendiri bernama motif batik. Siti Aminah menggeluti kerajinan ini sejak berhenti bekerja sebagai tenaga kerja wanita di Arab Saudi. Usaha ini ia jalankan sambil mengurus anak dan cucu.

Pemasaran melalui pemanfaatan media sosial, anyaman pagar bambu miliknya dikenal dan diminati oleh konsumen dari luar Kabupaten Lombok Timur. Beberapa kali permintaan datang bahkan dari luar NTB. Sayangnya sejauh ini ia hanya bisa melayani pengiriman hingga ke Pulau Sumbawa saja.
Menurutnya, bantuan permodalan, pelatihan pengembangan produk, dan peralatan mesin akan sangat membantu dia dan pengerajin lain yang ada di desanya untuk dapat meningkatkan kapasitas usaha.

Mengintegrasikan Ekonomi dan Ekologi
Harianto selaku Koordinator Lapangan untuk implementasi program selama beberapa bulan ke depan ini, melihat potensi kerajinan bambu di Kecamatan Sikur cukup merata. Desa Loyok selama ini dikenal sebagai sentra kerajinan bambu, bahkan produknya telah diekspor ke mancanegara. Namun, ia menemukan desa-desa lain yang juga memiliki kemampuan serupa.

“Dalam program ini, kami mencoba menjajal desa-desa lain yang memang memiliki potensi membuat produk olahan bambu,” ungkapnya, Senin 11 Agustus 2025.

LRC menginisiasi program pemberdayaan dan pembinaan UMKM berbasis bambu di Kecamatan Sikur sebagai proyek percontohan. Program ini diawali dengan asesmen di 14 desa untuk menggali kebutuhan masyarakat, potensi pasar, dan bentuk kemitraan strategis.

Pendekatan partisipatif dipilih agar pengembangan usaha kerajinan bambu tumbuh dari inisiatif warga, bukan semata intervensi dari luar. Inisiatif ini sejalan dengan agenda pembangunan berkelanjutan (SDGs), khususnya pengentasan kemiskinan, penyediaan pekerjaan layak, pertumbuhan ekonomi, serta praktik konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab.

Dengan pengelolaan yang terintegrasi, bambu dapat menjadi sumber penghidupan sekaligus menjaga ekosistem desa-desa di kawasan penyangga Taman Nasional Gunung Rinjani. [Har]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *