Pengrajin Bambu di Lombok Timur Bertahan di Tengah Sepinya Pesanan

LOMBOK TIMUR – Siang terik di Kecamatan Sikur, Kabupaten Lombok Timur, pucuk-pucuk bambu bergoyang diterpa angin. Di balik hamparan itu, kehidupan para pengrajin bambu masih berjalan meski permintaan kian sepi. Hasil asesmen yang dilakukan oleh tim program di Lombok Research Center (LRC) bahwa 14 desa wilayah Kecamatan Sikur, mengungkap potensi bambu yang besar, namun belum tergarap maksimal.

Hampir semua desa di wilayah ini memiliki sumber daya bambu yang melimpah. Tidak hanya itu, warga juga memiliki keterampilan mengolah bambu menjadi beragam produk, dari anyaman rumah tangga hingga kerajinan artistik. Namun, kenyataannya, hanya sebagian kecil yang memproduksi barang bernilai tambah.

Sebagian besar warga masih bergantung pada penjualan bambu mentah, pohon ditebang, batang dipotong, lalu dijual utuh. Nilai ekonominya jauh di bawah potensi maksimal yang bisa dicapai jika bambu diolah lebih lanjut.

Desa-desa yang memiliki basis kerajinan, seperti Desa Loyok, mengakui kendala utama mereka bukan pada keterampilan teknis, melainkan pemasaran. Di era digital, akses pasar tidak lagi hanya soal jarak, melainkan soal strategi, jejaring, dan kemampuan membaca tren.

Bagi Agus Hartadi, bambu adalah jalan hidup. Di halaman depan rumahnya, ia membuka sebuah galeri kecil. Anyaman tas jinjing berwarna alami tergantung rapi di rak kayu, sementara jenis produk yang lain berjejer dan menumpuk memenuhi teras.

“Kalau soal desain, kita di sini bisa bikin sesuai permintaan. Yang susah itu menjualnya,” ujar Agus, sambil menunjukkan beberapa produk hasil kelompok pengrajin di desanya.

Ia membina sepuluh pengrajin tetap dan bekerja sama dengan sekitar 90 pengrajin tidak tetap, yang sebagian menerima pesanan dari artshop di luar desa.

Pengalaman Agus tidak hanya sebatas membuat produk. Ia kerap menjadi instruktur pelatihan yang diselenggarakan Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) dan Dinas Perindustrian, baik di tingkat kabupaten maupun provinsi. Di Loyok sendiri, ada delapan pengusaha yang membuka artshop kerajinan bambu.

“Dulu banyak sekali artshop di sini. Tapi sejak peristiwa Bom Bali, jumlahnya berkurang,” kenang Agus. Peristiwa itu sempat melumpuhkan sektor pariwisata, yang menjadi pasar utama produk kerajinan seantero Lombok.

“Sekarang pengaruhnya sudah hilang. Loyok sudah dikenal sampai luar negeri sebagai sentra pengerajin bambu,” ujarnya.

Sekitar setengah kilometer dari Loyok, Dusun Dasan Petung di Desa Kotaraja menyimpan cerita lain. Di sini, suara ketukan palu bambu sudah jarang terdengar lagi. L.M. Efendi Oktora, mantan Sekretaris Desa yang kini menjadi guru SMK, mengaku prihatin akan kondisi itu.

“Pengerajin di sini kebanyakan sudah tua. Sayang kalau tidak diberdayakan lagi, terutama untuk regenerasi,” katanya Rabu (13/8/2025) lalu.
 
Sebelum 2023, Efendi cukup aktif memasarkan produk dari kelompok pengerajin melalui Google Maps dan toko daring Lalu Bije Olshop. Namun, kesibukan di sekolah membuat aktivitas promosinya menurun. Ia berharap ada lembaga seperti LRC yang mau melakukan pembinaan.

“Kalau ada program pembinaan, kita akan buka lagi galeri di rumah ini. Semua produk seni dan kerajinan hasil warga di sini kita pajang,” ujarnya.

Di luar aktivitas mengajar, Efendi membina kelompok seni dan budaya Pusaka Rinjani, yang berfokus pada seni lukis, gendang belek, ukir, dan kerajinan bambu.

Salah satu anggota kelompoknya bahkan bisa membuat biola dari bilah bambu, keterampilan langka yang diwariskan dari kakeknya, seorang pemain biola yang pernah mewakili Indonesia di Jerman.
Program pemberdayaan UMKM bambu yang digagas LRC memadukan pemetaan potensi, identifikasi pasar, dan pembentukan kemitraan strategis. Pendekatan partisipatif dipilih agar program tumbuh dari kebutuhan masyarakat sendiri, bukan sekadar intervensi dari luar.

Temuan lapangan memperlihatkan, bambu bukan hanya komoditas ekonomi. Akar bambu mencegah erosi di lahan miring, batangnya meredam terpaan angin, dan rumpunnya menyerap karbon. Di tengah krisis iklim, bambu adalah sekutu alam yang bekerja tanpa henti.

Inisiatif ini sejalan dengan Sustainable Development Goals (SDGs), yang mencakup pengentasan kemiskinan, penyediaan pekerjaan layak, pertumbuhan ekonomi, serta konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab.

Menjembatani Potensi dan Pasar
Tantangan terbesar di sektor ini adalah menjembatani antara keterampilan pengrajin dan pasar. Generasi tua memiliki teknik anyaman yang presisi, tetapi tidak selalu akrab dengan strategi pemasaran modern. Sebaliknya, generasi muda yang melek digital belum tentu tertarik melanjutkan profesi sebagai pengrajin.
Di Loyok, sebagian anak muda lebih memilih bekerja di sektor pariwisata atau merantau keluar daerah. Di Kotaraja, regenerasi pengrajin nyaris tidak ada. Tanpa pembaruan dan insentif yang menarik ke depannya, keterampilan ini bisa hilang.

LRC menilai perlu ada pendekatan terpadu berupa pelatihan desain kontemporer, pemanfaatan platform daring, kolaborasi dengan desainer muda, dan pembukaan akses pasar ekspor.

“Pengakuan dari desa pengerajin bambu, hampir semua bilang kalau pasarnya ada, pengrajin pasti bisa membuat apa saja,” kata Khotibul Umam Zain, staf LRC yang juga terlibat dalam proses asesmen ini.
Umam menilai desa-desa wisata di Kecamatan Sikur seperti yang ditemukannya di Tetebatu, memiliki sumber daya bambu yang melimpah. Masyarakat di Tetebatu cukup terampil mengolah bambu menjadi beragam produk seperti gelas, asbak, tas dan produk lainnya.

Namun, Umam juga mengakui belum ada sinergisitas yang jelas antara sektor pariwisata, pemerintah desa, dan masyarakat. “Bambu dimanfaatkan hanya sebatas dijual bahan mentahnya saja,” ujarnya.
Dia berharap perlunya dukungan pemerintah desa dengan menghubungkan sektor wisata dan produk lokal bambu tersebut dapat dilakukan melalui penguatan artshop-artshop di kawasan desa wisata seperti di Tetebatu, Jeruk Manis dan Kembang Kuning.
 
Di tengah persaingan industri kerajinan, bambu menawarkan keunggulan yang unik. Bambu dikenal tumbuhan yang ramah lingkungan, serbaguna, dan memiliki nilai budaya.

“Menghidupkan kembali industri pengolahan bambu ini terutama di desa-desa yang lama vakum, itu berarti menjaga warisan keterampilan sekaligus membuka peluang ekonomi baru bagi masyarakat desa,” ungkap Hari Bahagia, koordinator lapangan untuk implementasi program pemberdayaan dan pembinaan UMKM bambu ini.

“Bambu itu kuat kalau bersama-sama. Begitu juga pengrajin mesti dapat mencontoh filosofi bambu,” imbuhnya lagi sambil tersenyum tipis.

Di Loyok, bunyi palu dan gesekan pisau sayat masih terdengar, meski tidak seramai seperti yang dulu. Di Kotaraja, dua atau lima hingga delapan pengrajin tua masih setia di antara tumpukan batang bambu.
Para pengerajin bambu di sana bekerja bukan semata demi uang, tetapi demi mempertahankan sesuatu yang telah menjadi bagian dari hidup mereka.

Bambu di desa-desa penyangga kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) di Kecamatan Sikur berdiri sebagai saksi tentang ketekunan yang diwariskan, keterampilan yang dirawat, dan peluang yang masih terbuka jika dikelola dengan tepat.

Dari batang pohon bambu yang sederhana, diharapkan akan lahir karya yang bisa menembus pasar dunia asal ada tangan yang mau menghubungkan keduanya. [Har]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *